Rambut Raga masih terlihat basah saat ia tiba di sekret dengan muka yang lebih segar, meski masih terlihat jelas kekalutannya. Tanpa mengatakan apapun, ia duduk di kursi depan sekret -- kursi rotan yang hampir roboh. Tidak ada siapa-siapa. Hanya ada motor Dio yang terparkir, tapi orangnya tidak terlihat, mungkin sedang berada di dalam sekret?
Raga tidak peduli. Ia keluarkan rokok, lalu menyulut api ujungnya. Setelahnya, ia kepulkan asap rokoknya dengan begitu khusyuk. Pikirannya sekarang terasa terbang ke mana-mana. Perasaannya terasa mengambang tanpa pijakan. Sebenarnya, apa yang diinginkan dirinya?
Ah Raga tidak habis pikir, ternyata Aruni yang hanya sebatas menumpang di rumahnya -- dititipkan oleh sepupunya bisa berdampak sebegitu pada dirinya. Namun, celakanya, Raga baru menyadari saat Aruni tidak lagi ada, saat Aruni sudah pergi.
"Gue rasa, lo perlu ini." Dio muncul dari dalam sekret membawa dua cangkir kopi, diletakkannya satu di depan Raga.
Raga melirik sekilas, lalu kembali memainkan asap rokoknya. "Lo gak ada niatan susul Aruni?" Tanya Dio setelah mendaratkan bokongnya di kursi depan Raga.
Mendengar pertanyaan Dio membuat senyum miring terbit di bibir Raga. "Lo pasti ketawain gue, Yo."
Dio tertawa ringan sambil menggelengkan kepalanya, lalu menyeruput kopinya. "Lo mau gue bantu apa?" Tanya Dio pada sahabatnya itu -- jujur saja, ia kasian melihat Raga saat ini. "Asal jangan minta gue balikin Aruni di sini," sambung Dio cepat.
Tawa ringan terdengar dari bibir Raga saat ia menyahut ucapan Dio barusan. "Padahal gue baru mau bilang."
Dio kembali menyeruput kopinya, lalu menatap Raga. "Lo kan udah sama Dara, Ga."
"Lo ngejek, Yo?" Tanya Raga dengan suara pelan -- kentara sekali dari nada laki-laki itu, ia tidak baik-baik saja.
"Gue cuma ngungkapin yang sebenarnya kan?" Sahut Dio santai
Raga menggelengkan kepalanya, lalu mengepulkan asap rokoknya. "Gue kira gue udah dewasa, Yo, ternyata belum. Gue masih sebodoh ini."
Dio menaikkan keningnya menunggu kelanjutan kalimat Raga. "Apa ini yang dinamakan gue buta sama perasaan gue? Atau ini namanya perasaan datang terlambat?" Mata Raga jelas sekali memancarkan kelelahan.
"Lo segitu cintanya sama Aruni yah, Ga? Atau sama Dara?" Tanya Dio berusaha memancing Raga.
Raga menunjukkan kepalan tangannya. "Setelah liat gue gini, lo masih bisa bertanya gitu?"
Dio tertawa-tawa melihat temannya itu. "Gue bantu, kalo lo gak bisa mendiagnosis perasaan lo. Lo udah cinta mati sih kayaknya sama Aruni."
"Gue gak menyadari itu," sahut Raga cepat.
"Elah masih mau aja lo nyangkal," kejar Dio.
"Gue harus gimana sekarang, Yo?" Tanya Raga putus asa.
"Susul Aruni? Dara mau lo apain?"
Raga mengepulkan asap rokoknya dengan penuh penghayatan. "Aruni sakit jantung, gue takut gak ketemu dia lagi."
"Lo doain lah, Ga," kata Dio.
"Apa Tuhan mau denger doa gue?"
Dio tersenyum kecut. Iya juga, Raga kan selama ini jauh dari Tuhan. Namun, ia sebisa mungkin untuk membesarkan hati temannya itu. "Tuhan selalu mau denger doa hamba-Nya, hanya saja seorang hamba yang terkadang sombong gak mau berdoa kepada Tuhannya."
Raga menghembuskan napasnya, lalu mematikan rokoknya di atas asbak. Ia kemudian meminum kopi yang dibawakan oleh Dio tadi.
"Lo gak mau cerita, kenapa lo bisa jadian sama Dara?" Tanya Dio setelah mereka cukup lama berdiam menikmati kopi masing-masing.
KAMU SEDANG MEMBACA
ARUNIKA (SELESAI)
Fiksi RemajaHanya kisah sederhana yang lahir dari imajinasi anak manusia. Tidak menjanjikan manfaat, tapi mengharapkan keluasan hati dari yang membacanya, agar dapat memetik satu makna saja di sepanjang alur cerita. Mohon maaf jika tokoh-tokohnya tidak terlalu...