Setelah pergimu;
Apa arti kata baik-baik saja? Setelah pergimu, kata itu terdengar asing di telingaku. Aku bersama dengan perempuan lain, tapi pikirku tertuju di tempatmu yang tidak kutahu di mana, rasaku terarah padamu. Aku gamang, Arunika. Sebentar saja kamu hadir di kehidupanku, tapi rasanya sudah sedemikian dahsyat kehilanganku saat kamu pergi. Untuk perasaan memang tidak bisa diukur dengan jangka lamanya bersama, bukan?
Runi, setelah pergimu, aku sadar, kalau aku 'terlambat'; terlambat menyadari perasaanku, terlambat menyadari hadirmu dalam hidupku, dan terlambat aku menginginkanmu.
Kamu memilih rumahku untuk bersembunyi, Runi, kurasa itu pilihan yang tepat. Terima kasih pada Nala yang membawamu kenal denganku. Namun, sialnya sepupuku itu tidak bisa membujukmu untuk sekadar mengunjungiku barang sehari dua hari di sini. Padahal, sejenak saja aku butuh dikunjungi, Runi. Layaknya rumah, aku butuh ditengok oleh penghuninya. Namun, kesadaranku kembali, memang kamu tidak pernah menjadi penghuniku, kan? Kamu tidak menjadikan aku rumah, tapi hanya tempat singgah. Salahku juga yang tidak menawarimu untuk menetap.
Runi, lagi-lagi berkat Nala, aku memilih lepas dari ikatan yang kubuat bersama seorang perempuan yang kamu kenal. Aku tidak mau menyakitinya terlalu lama dengan mengikatnya dalam suatu hubungan, yang dalam satu waktu aku justru memelihara perasaan padamu. Aku ingin menjadi laki-laki yang benar-benar mencintaimu, Runi. Aku ingin menjadikan diriku layak sebagai rumah tempatmu pulang, itulah mengapa, penghuni-penghuni lain selainmu kupersilakan keluar dengan sebaik-baiknya. Aku tidak mengusirnya secara paksa, sebab rumah yang layak untukmu kupersiapkan, dan bagiku rumah yang mengusir penghuni lain dengan cara tidak baik adalah rumah yang tidak layak untukmu.
Benar-benar, menyambut datangmu yang entah kapan, aku mempersiapkan segala sesuatunya untuk benar-benar menjadi rumah yang layak untuk kamu huni nantinya. Aku menyelesaikan pendidikanku yang terbengkali, lalu dengan usaha kecil-kecilanku, aku menambah tabunganku untuk mendirikan coffee shop. Setelah satu tahun lulus sebagai sarjana, aku berhasil mendirikan coffee shop dengan bantuan Dio, yang kuberi nama Arunika. Namamu, Runi.
Hari-hari menanti dan mempersiapkan rumah untukmu bukanlah hari-hari penuh siksa buatku, Runi, karena bagiku semua tentangmu itu patut kunikmati, termasuk untuk urusan menantimu pulang. Aku selalu membayangkan, Runi, di pagi hari kamu datang mengetuk pintu rumahku, dan kusambut kamu dengan seulas senyum, lalu kupersilakan kamu masuk untuk menjadi penghuninya selain aku. Setelahnya, akan kupersilakan pula kamu menjadi penghuni dalam aku, dan kupastikan diriku akan menjadi rumah paling bahagia ketika kamu bersedia menjadi penghuninya. Namun, sebaliknya jika kamu menolak, maka kemungkinan terbesarnya, aku akan menjadi rumah yang paling ambruk.
Maka kumohon, Runi, satu, dua, atau tiga hari ke depan, atau mungkin satu sampai lima tahun lagi kamu kembali, persiapkan dirimu untuk menetap yah? Jangan hanya singgah. Kumohon, jangan biarkan dirimu pulang ke rumah yang bukan aku, dan jika kamu tidak menginginkannya ... kumohon, jangan tunjukkan dirimu lagi, agar aku bisa merawat sebaik-baiknya diriku, karena pikirku kamu akan kembali menjadi penghuninya. Namun, jika kamu balik dan menyatakan ketidaksediaan untuk menghuninya, maka sekali lagi, mungkin itu adalah awal runtuhnya aku -- rumahmu (seharusnya).
2 tahun setelah pergimu, Runi.
KAMU SEDANG MEMBACA
ARUNIKA (SELESAI)
Ficção AdolescenteHanya kisah sederhana yang lahir dari imajinasi anak manusia. Tidak menjanjikan manfaat, tapi mengharapkan keluasan hati dari yang membacanya, agar dapat memetik satu makna saja di sepanjang alur cerita. Mohon maaf jika tokoh-tokohnya tidak terlalu...