Arunika 28

147 11 2
                                        

Seorang laki-laki dengan topi rimbanya terlihat sibuk di balik meja bar. Ia sedang meracik kopi untuk pelanggan spesialnya. Laki-laki itu Raga. Dua tahun sudah ia mendapatkan gelar S1-nya, dan kini ia sudah berhasil dengan usaha kafenya yang ia rintis kurang lebih 1 tahun yang lalu menggunakan uang tabungannya. Hobinya menjelajah pun sudah ia tinggalkan semenjak mengurus kafe, karena fokusnya sudah teralihkan pada kafenya. Namun, bukan berarti ia benar-benar meninggalkan hobi mendara dagingnya itu, sesekali dan seperlunya ia masih ikut mendaki jika diajak.

Adapun, kegiatan mengajarnya di kampung Bi Irni, sebisanya ia meluangkan waktu satu kali sebulan untuk berkunjung. Ia sudah tidak terlalu khawatir dengan pendidikan anak-anak di sana, karena tenaga pendidiknya pun juga sudah cukup memadai, termasuk teman-teman Raga yang memang sudah mengabdi di tempat itu dan telah menyelesaikan pendidikan, maka ia memilih untuk mengajar tetap di sana. Semakin banyak juga mahasiswa yang bergabung dengan mereka, yang membagi jadwal perpekan untuk memberikan pelajaran tambahan, sebagaimana Raga dan teman-temannya waktu di awal dulu.

Sekarang, kesibukan Raga yah mengurus kafe. Pikirnya, ia sudah tidak ingin main-main lagi dengan hidupnya. Adapun, unrusan jodoh, dia tidak terlalu memikirkannya lagi. Baginya, apapun yang sekarang ia jalani itu sudah cukup. Jika Tuhan berpihak pada apa yang selalu diam-diam ia semogakan, maka ia bersyukur. Kalaupun Tuhan tidak berpihak, ia yakin pasti Tuhan punya rencana lain untuknya, dan ia pun juga bersyukur akan hal itu. Namun, harapnya tetap, di manapun perempuan itu berada, semoga ia baik-baik saja.

"Pak barista ini sedang meracik kopi, apa sedang meracik ulang kenangan?"

Raga sedikit tersentak saat Dara tiba-tiba muncul di depan meja barnya. "Abis lama sih." Gadis itu memperlihatkan wajah merajuknya, dan membuat laki-laki yang terhalang meja bar dengannya itu menerbitkan senyum.

"Sorry," kata Raga, "Lo balik aja ke tempat duduk lo, duduk manis. Tunggu gue anterin."

"Siap, Pak Barista." Dara terkekeh dan kembali ke mejanya.

Raga menggeleng-gelengkan kepalanya dengan senyum yang belum lepas dari wajahnya. Ia kemudian melihat jam yang melingkar di pergelangan tangannya, pantas saja Dara menghampirinya, ternyata dia sudah cukup lama di balik meja barnya. Ia pun buru-buru melepas celemeknya dan membawa kopi buatannya tadi untuk disuguhkan kepada perempuan yang menghampirinya barusan.

"Kopi spesia buat Nona Dara." Raga meletakkan kopi yang ia bawa di atas meja yang Dara tempati, menyusul tubuhnya yang duduk di depan wanita itu.

Dara mengalihkan perhatiannya dari majalah yang sedang ia teliti ke arah Raga. "Dari tadi kek," dumelnya, lalu menyesap kopi buatan laki-laki di depannya itu. "Hambar, Ga," komentarnya.

Raga mengernyit. "Kok bisa? Perasaan takarannya tadi sama."

"Mungkin karena lo tadi buatnya sambil ngehayal."

"Serius hambar? Gue buatin ulang?"

Dara tertawa melihat respon laki-laki di depannya itu yang teramat serius. "Lo serius amat sih? Gue bercanda kali. Pas kok, rasanya masih sama. Mungkin karena perasaan pembuatnya juga masih sama hahaha."

"Lo ngeledek?" Raga menatap Dara curiga tanpa bisa menyembunyikan senyumnya.

"Hahaha nggak kok, nggak niat maksudnya, spontan aja." Perempuan dengan bleser maroonnya itu semakin menertawakan Raga.

ARUNIKA (SELESAI)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang