Nala yang duduk di kursi rias memperhatikan Aruni yang duduk di atas tempat tidur -- gadis itu sedang membaca kertas pemberiannya beberapa menit yang lalu. "Itu kertasnya gue ambil dua pekan yang lalu. Kebetulan gue mampir dan iseng buka-buka laci mejanya dia, gue nemu buku agenda, dan nemu tulisan itu. Jadinya gue robek deh buat kasih liat ke lo. Untungnya lo datang kemarin."
Air mata Aruni sudah menetes sedari awal membaca tulisan Raga itu. Ia menatap Nala dengan mata sembab. Nala bangkit dari duduknya dan menghampiri sahabatnya itu. Ia duduk di samping Aruni, lalu memeluknya. "Lo sahabat gue, Raga saudara gue. Plis, jangan menyakiti satu sama lain, di saat lo tahu penawarnya apa."
Aruni menutup mulutnya menahan tangis. Ia paham maksud kalimat Nala. "Gue cewek sakitan, Nal," keluh Aruni.
"Apa Raga peduli?" Nala melepas pelukannya, lalu membalikkan tubuh Aruni untuk menghadapnya. "Udah jam delapan, lo belum salat isya kan? Salat gih, minta petunjuk sama Tuhan, abis itu lo istirahat, lo pasti kecapean. Gue balik ke kamar dulu, lo pasti butuh sendiri."
Seperti saran Nala, Aruni bergegas mengambil air wuduh sepeninggal sahabatnya itu ke kamarnya yang berada di sebelah kamar yang ia tempati. Aruni lalu melaksanakan salat isya. Dalam doanya, ia adukan segala gundahnya kepada Tuhan. Segala dilemanya ia ceritakan. Pada Tuhan, Aruni jujur, bahwa sampai detik di mana ia masih bernapas hingga kini, ia masih memiliki perasaan pada Raga, dan ia pun seperti wanita lain yang ingin menerima perasaan yang sama dari orang yang dicintainya. Namun, pada Tuhan juga ia mengadu, bahwa ia tidak tega pada Raga, sebab baginya, Raga berhak mendapatkan wanita yang lebih sehat dan bisa membersamainya hingga tua. Sementara Aruni? Peluang hidupnya sungguh tipis, dan bergantung pada operasi yang sungguh menguras isi dompet. Dengan semua itu, apa Aruni tega melibatkan Raga dalam kehidupannya?
"Ya Allah, hamba lemah, hamba mencintainya, dia pun juga mencintai hamba, tapi hamba bisa apa, Ya Allah? Hamba tidak mungkin menyeretnya dalam kehidupan hamba yang pelik. Pada-Mu, hamba mohon jalan untuk semuanya. Jika memang bersatu adalah yang terbaik buat kami, maka berikanlah hamba hidup yang lebih lama untuk mendampinginya. Namun, jika masing-masing jauh lebih baik, maka jadikanlah hati kami lapang untuk tidak bersama," rintih Aruni di akhir doanya.
🌅
Di lain tempat, Raga masih berada di kafe, tepatnya di dalam ruangannya. Semua pegawai, termasuk Dio sudah pulang, kini ia tinggal sendiri. Sedari Aruni pulang tadi, Raga mengurung diri di ruangannya itu, tidak ada yang berani mengetuknya ataupun memasukinya, karena karyawannya sudah sedikit mengetahui apa yang terjadi pada owner kafe tempatnya bekerja itu. Bukan mereka takut untuk bertanya atau mengganggu, hanya saja mereka semua paham, untuk urusan patah hati, terkadang berjuang sendiri untuk sembuh lebih baik.
Sebelum pulang, Dio hanya mengirim pesan.
Gue tahu, lo tahu apa yang mesti lo lakuin.
Raga melihat jam di dinding ruangannya yang minimalis itu, pukul 9 malam. Ah dia alpa menghadiri kajian temannya, Alfatih. Yah, enam bulan yang lalu Raga mendapat pengunjung yang ternyata teman SMP-nya -- Alfatih.
Alfatih merupakan teman dekat Raga dulu waktu SMP, waktu di mana Raga berada di titik terendah saat kedua orang tuanya sedang berada pada hubungan yang tidak baik-baik saja. Dulu jika Raga malas pulang ke rumah, ia akan menginap semalam sampai tiga malam di rumah Alfatih, dan menceritakan segala keluh kesahnya pada temannya itu. Rumah mereka hanya terpisah dua blok, dan orang tua Alfatih sangat baik pada Raga. Sedikit juga, nilai agama Raga dapatkan dari keluarga temannya itu, karena setiap bermalam, pasti Raga akan diajak untuk salat berjamaah.
KAMU SEDANG MEMBACA
ARUNIKA (SELESAI)
Teen FictionHanya kisah sederhana yang lahir dari imajinasi anak manusia. Tidak menjanjikan manfaat, tapi mengharapkan keluasan hati dari yang membacanya, agar dapat memetik satu makna saja di sepanjang alur cerita. Mohon maaf jika tokoh-tokohnya tidak terlalu...