Raga mengernyit saat melihat Aruni keluar kamar dengan memakai baju kaus longgar dan celana kulot. Namun, bukan itu yang membuat Raga mengernyit, tapi topi yang bertengker di kepala gadis itu, ditambah kacamata hitam yang menutupi matanya dan masker menutupi mulut dan hidungnya.
"Lo gitu amat penampilannya," komentar Raga saat berjalan bersisian dengan Aruni keluar rumah.
"Sedia payung sebelum hujan," sahut Aruni santai.
Raga hanya geleng-geleng kepala sambil menaiki mobilnya, Aruni ikut naik di pintu sebelah. Gadis itu melepas masker dan kacamatanya setelah mobil Raga melesat meninggalkan pekarangan rumah. "Tau lo mau lepas di mobil, kenapa masih dipake tadi waktu keluar rumah? Lo kira ada tetangga gue yang ngenalin lo?" Raga melirik Aruni di sampingnya.
Aruni hanya mengedikkan bahunya. Pandangannya sibuk melihat jalanan, ia teringat saat semuanya belum terungkap, ia sering sekali melewati jalan yang ia lewati kini. "Itu jalan ke rumah gue," katanya saat mobil Raga melewati perempatan.
"Gue tau, kan kata lo satu kompleks sama Nala." Raga terlihat santai mengendalikan stir mobilnya. Ia kemudian melirik Aruni, sepertinya gadis itu sedang bersedih. "Mau mampir ke rumah lo?"
"Nggak," jawab Aruni cepat.
"Tapi kok keliatannya sedih gitu?" Raga berniat bercanda.
Aruni menelan ludahnya, ia menatap ke arah jendela mobil. "Gue rindu aja," katanya.
Raga iba melihatnya, dan entah dorongan apa tangan kirinya terulur mengusap puncak kepala gadis yang berada di sampingnya -- yang terbalut dengan topi. "Lo udah membuat keputusan, terima konsekuensinya. Jangan banyak sedih."
Mendapat perlakuan seperti itu dari Raga membuat Aruni sontak menoleh pada laki-laki itu, didapatinya Raga tersenyum tulus padanya, yang membuatnya mau tidak mau membalas senyuman itu. Raga baru sadar perlakuannya pada Aruni sepertinya sudah melebihi kewajaran dua orang asing yang baru akrab, dengan hati-hati ia pun menarik kembali tangannya.
Setelahnya entah kenapa keduanya merasakan kecanggungan, hingga Aruni membuka suara. "Nala cerita ini itu tentang lo, peringatin gue gak perlu ajak lo ngobrol duluan, dan jangan sampe gue buat lo marah. Sementara Bi Irni, dia banyak ngomong juga soal lo, katanya lo jarang di rumah, dan yah sebelas dua belas apa yang disampein oleh Nala. Mendengar semuanya, buat gue ngebayangin lo itu bertubuh besar, nyeremin. Gambaran laki-laki menakutkan gitu."
Raga tertawa mendegar apa yang disampaikan Aruni. "Tapi nyatanya gue gimana?"
Aruni tampak berpikir, tidak ingin menjawab.
"Manis kan? Temen-temen cewek gue juga bilang gitu." Raga dengan pedenya memuji diri sendiri.
"Gue gak bilang lo manis," sangkal Aruni tertawa ringan.
"Anggap aja lo bilang gitu." Lagi-lagi Raga melempar senyum pada Aruni. Gadis itu hanya memutar bola matanya malas. Raga tidak tahu apa, bahwa Aruni sedang mengontrol debar jantungnya kini. "Gue emang suruh Nala jelasin lo tentang gue. Bukan tentang yang gimana-gimana sih. Yah, seperti yang disampein Nala, jangan ganggu gue, jangan ikut campur urusan gue, dan jangan ajak ngobrol gue duluan, tapi gue gak pernah suruh Bi Irni tuh buat ngomong gitu ke lo."
Aruni lagi-lagi tertawa ringan. "Inisiatif sendiri mungkin dia."
"Emang itu art yah, kerjaannya gitu, suka ngegosip."
"Tapi apa yang dia sampein bener kan? Karena gak beda jauh dari apa yang disampein sama Nala ke gue?"
"Iya sih, tapi kan gue gak nyuruh dia."
"Inisia_"
Raga memotong ucapan Aruni. "Yah, inisiatif sendiri." Dan mereka pun tertawa bersama.
"Btw, Ga, ngomong-ngomong lo nggak mau gue ikut campur dengan urusan lo, tapi ini apa?" Aruni melirik laki-laki di sampingnya.

KAMU SEDANG MEMBACA
ARUNIKA (SELESAI)
Fiksi RemajaHanya kisah sederhana yang lahir dari imajinasi anak manusia. Tidak menjanjikan manfaat, tapi mengharapkan keluasan hati dari yang membacanya, agar dapat memetik satu makna saja di sepanjang alur cerita. Mohon maaf jika tokoh-tokohnya tidak terlalu...