Bi Irni melirik Raga yang sedang mengambil air minum di sampingnya. Laki-laki itu baru bangun, kelihatan sekali rambutnya yang berantakan, dan matanya yang masih sayu.
"Selamat siang, Mas," sapa Bi Irni sambil mengaduk kacang yang sedang digorengnya di wajan.
Raga hanya menggumam. Ia hendak melangkah kembali ke kamarnya, tapi diurungkannya, karena teringat sesuatu. "Bi, yang bukain saya pintu semalam siapa?"
Bi Irni masih pada pekerjaannya. Tanpa menoleh ia menyahut, "Lah kok nanya sama saya, Mas?"
Raga enggan menjawab, tapi ia butuh tahu siapa yang membukakannya pintu semalam. "Karena waktu saya pulang semalam saya gak sadar, saya mabuk." Laki-laki itu menatap Bi Irni dengan kesal.
Sementara Bi Irni langsung menoleh dan melotot. "Mabuk lagi, Mas?"
Raga berdecak. "Jadi, siapa yang bukain saya pintu?"
Bi Irni mengerut. "Mana saya tau, Mas, intinya bukan saya," katanya, lalu teringat sesuatu. Ia kemudian menoleh lagi pada majikannya. "Kalo bukan saya, dan memang bukan saya, berarti Mbak Aruni yang bukain."
Raga menatap Bi Irni dengan kening terangkat. "Apa iya?"
"Kalo bukan dia siapa coba, Mas? Masa penunggu rumah ini? Aduh, Mas Raga, hahaha ada-ada aja, penunggunya juga paling kembaran Mas Raga." Bi Irni mematikan kompornya dan memindahkan kacangnya ke mangkuk yang sudah disiapkannya.
Mendengar candaan Bi Irni membuat Raga memberinya tatapan horror.
Bi Irni pun langsung melanjutkan ujarannya, "Pastinya Mbak Aruni, Mas, karena sebelum tidur semalam, saya kunci pintu. Kirain Mas Raga mau bermalam di sekret, seperti biasa."
Raga mengusap wajahnya. "Ya udah, Bi, ntar kalo bibi ketemu tuh cewek, kasih tau kalo dia gak usah tanya-tanya soal saya semalam." Laki-laki itu berlalu meninggalkan Bi Irni yang menatap punggungnya dengan kening terangkat sebelah. "Mas Raga, setengah dua belas baru bangun. Kebiasaan sih mabuk-mabukan kalo malam."
Tidak cukup dua puluh menit, Raga terlihat menuruni tangga dengan rambut basahnya. Ia buru-buru sekali memasang kaus kakinya di anak tangga terakhir, setelahnya ia menyampirkan ransel yang sepertinya tidak berisi apa-apa di bahunya.
"Mas Raga mau ke mana? Nggak makan siang dulu?" Bi Irni mendekati majikannya itu.
"Nggak, Bi, saya ada kuliah jam sebelas tadi. Masih ada dua puluh menit, masih sempat absen."
"Tapi Mas Raga belum makan dari pagi," kata Bi Irni mengikuti langkah laki-laki itu menuju pintu.
"Ntar saya makan di luar, Bi."
Bi Irni menggeleng-gelengkan kepalanya, lalu kembali ke dapur melihat makanannya yang sudah siap di atas meja makan. "Dua kali waktu makan terlewat dalam sehari." Ia menghembuskan napasnya pelan, kemudian duduk di kursi.
Saat hendak menyendok nasi di piringnya, Aruni muncul dari kamarnya. "Eh Mbak, makan, yuk," ajaknya.
Aruni tersenyum dan duduk di depannya. "Raga gak makan, Bi?" Tanya Aruni.
"Katanya nanti di luar, dia buru-buru, ada kuliahnya," jelas Bi Irni di tengah lahapnya makan.
Aruni mengunyah pelan bakwan yang dimakannya. "Raga masih kuliah, Bi?"
"Iya, semester sebelas."
"Serius, Bi?"
Bi Irni mengangguk. "Iya. Eh kamu kasih makan tuh sama nasi bakwannya."
"Iya, Bi, masih kenyang saya. Mau makan bakwan aja," tolak Aruni. "Ini nasi goreng tadi pagi belum habis? Ntar saya panasi kalo lapar."
"Udah keras mungkin, Mbak, nasinya. Makan yang baru aja ini, goreng yang baru," ujar Bi Irni.
KAMU SEDANG MEMBACA
ARUNIKA (SELESAI)
أدب المراهقينHanya kisah sederhana yang lahir dari imajinasi anak manusia. Tidak menjanjikan manfaat, tapi mengharapkan keluasan hati dari yang membacanya, agar dapat memetik satu makna saja di sepanjang alur cerita. Mohon maaf jika tokoh-tokohnya tidak terlalu...