40-Luka Yang Membekas

171 53 13
                                    

Aldo menghela nafas gusar. Kali ini ia berusaha untuk mengendalikan amarahnya. "Andrea Allisya Shanette, apa tadi kamu ke club?"

Gadis didepannya itu memutar bola matanya malas. "Gimana Rea mau jawab kalo Anda saja lebih percaya dengan omongan mereka?" Tanya gadis itu sambil menunjuk kedua perempuan yang duduk di sebelah Papa-nya. "Kalaupun Rea jawab enggak, pasti Anda tidak percaya kan?"

Aldo menghiraukan pertanyaan Rea, karena menurutnya yang ia butuhkan sekarang jawaban bukan pertanyaan. "Tinggal jawab emang susah buat kamu?" 

"Saya kira Anda sudah tau jawabannya sendiri tanpa saya yang harus menjawab." Ujarnya formal sambil menyilangkan kedua tangannya di dada. 

Dirinya berusaha setenang mungkin di hadapan keluarga baru Papanya itu. Meskipun hatinya memberontak sangat ingin berkata jujur bahwa ia tak pernah dan tak sudi melakukan itu.

"Kamu gila, hah?! Mau di taruh mana harga diri Papamu ini jika rekan Papa tau anak perempuannya bermain di club bersama om-om?" Tanya Aldo membentak. Ia sudah tak tau jalan pikiran anaknya itu.

Prang!

Vas bunga antik di meja kini sudah mendarat mengenai wajah cantik Rea. Ya, itu ulah Aldo, pastinya. Untung saja hanya mengenai bagian pelipis bukan kedua matanya.

Meskipun hanya luka kecil tapi membuat pelipisnya mengeluarkan cairan pekat berwarna merah yang terus mengalir.

"Apa uang yang Papa kasih buat kamu selama ini masih kurang, hah?!"

Rea mengelap pelipisnya yang mengeluarkan darah itu dengan kasar tanpa ada ringisan yang keluar dari mulutnya. Baginya luka fisik tak sebanding dengan luka batinnya yang ia alami sekarang.

Bisa saja Rea melakukan hal yang sama kepada Aldo saat itu juga, tapi dirinya masih waras untuk melakukan hal senekat kepada Papanya.

Kan gak lucu kalau nanti muncul berita "Seorang anak bernama Rea masuk Rumah Sakit Jiwa disebabkan psikisnya terganggu hingga mencelakai ayah kandungnya sendiri."

Tidak dipungkiri bahwa salah satu keinginan Rea adalah menjadi terkenal, tapi sebagai penulis bukan sebagai gadis yang masuk RSJ.

By the way, menjadi penulis itu gak segampang yang dibayangkan. Jalan yang ditempuh pun gak selalu mulus. Ada kalanya seorang penulis kebingungan merangkai kata demi kata yang terlintas dalam pikiran agar menjadi sebuah kalimat yang sesuai.

Menulis itu gak segampang membaca. Kalo membaca mah cuma butuh memahami, kalau menulis selain pemahaman juga butuh pemikiran yang luas.

Kalo punya otak tuh minimal di pake jangan dijadiin pajangan doang! Eh, tapi percuma kalo otaknya di dengkul, enggak berguna juga, sih!

Penulis tuh butuh yang namanya referensi buku-buku bacaan. Tau kenapa? Ya, karena agar tidak kehabisan kata kata. Selain itu, terkadang penulis juga butuh healing jalan jalan agar pikirannya kembali fresh sehingga cerita yang dibuat tidak terlalu datar atau membosankan.

Jadi di sini gue cuma mau bilang hargai karya orang lain karena percaya deh membuat sebuah karya apalagi cerita itu gak semudah yang di kira.

Rea tertawa hambar. Banyak kesedihan yang ingin diutarakan sampai-sampai ia ingin teriak bahwa dunia sangat tidak adil dengannya. Kenapa harus dirinya? Kenapa bukan orang lain? Kenapa?!

"Iya, Rea, gila. Rea gila kasih sayang Papa! Dimana Papa yang Rea kenal dulu? Dimana Papa saat Rea butuh? Rea cuma butuh uluran tangan Papa agar Rea bisa kembali bangkit melawan kejamnya dunia ini!"

Gadis itu dengan segera mengelap cairan bening yang turun dari pelupuk matanya. Ia tak mau dianggap lemah oleh orang-orang yang berada di sana. "Dan untuk uang? Emang dengan uang bisa membeli semuanya termasuk kasih sayang orang tua? Enggak kan! Uang yang tiap bulan Papa transfer gak pernah Rea gunakan sedikit pun." Rea mengambil kartu atm dari dompetnya. Lalu menyerahkan kepada Papanya. "Rea gak butuh uang Papa." Lanjutnya.

ALGORITMA [SELESAI]✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang