Pulang cepat. Dua kata yang berhasil membuat seluruh semua pelajar di Indonesia sangat merasa bahagia.
Buru-buru keempat gadis dari kelas XI-A IPA itu merapikan seluruh barang-barang mereka. Berjalan beriringan menuju gerbang utama.
"Gue seneng banget, sumpah! Akhirnya kita dipulangin lebih awal dari biasanya." Jerit Dira bersemangat.
"Gimana kalo hari ini kita hangout bareng? Daripada gabut di rumah." Ucap Rissa memberikan usul.
"Gue sih, setuju aja. Mending ke cafe biasanya, udah tempatnya strategis, adem, yang paling penting ada wifi." Balas Zelina menyengir.
"Kalau gue sebenarnya gak terlalu gabut, karena ada ayang bebeb Arzan yang stay nemenin chattingan, tapi yaudah gue ngikut kalian." Ujar Dira dengan bangganya.
Mereka bertiga saling beradu pandang, saat menyadari bahwa Rea hanya diam tak bergeming sambil melamun.
"Rea, lo ikut kita hangout kan?" Tanya Rissa memastikan.
"Sorry banget, guys. Gue gak bisa ikut, soalnya hari ini gue ada acara penting banget. Mungkin next time kita hangout barengnya." Balas Rea menggaruk tengkuknya yang tidak gatal.
Gadis itu tidak berbohong, memang kenyataannya hari ini dia punya agenda pergi ke suatu tempat.
Dan itu bukan rencana yang mendadak, karena ia sudah merencanakan jauh-jauh hari, tapi baru hari ini terlaksana.
•••
TPU DAHLIA.
Rea meremas ujung rok seragam abu-abu miliknya hingga nampak kusut. Dirinya seakan ragu untuk memasuki wilayah pemakaman itu.
Ia seperti tidak siap menginjakkan kaki ke tempat ini lagi setelah kejadian dia pergi tuk selamanya.
Kepergiannya meninggalkan duka yang teramat dalam yang takkan bisa dilupakan.
Ternyata ditinggal pergi oleh seseorang yang pernah dekat sama kita itu gak mudah. Kalau keinget wajah, kenangan, tawa, perhatian, semua tentang dia tuh rasanya nyesek.
Pengen emosi, bahkan ingin memaki-maki Tuhan, karena tidak keadilan ini. Dia masih suka merasakan sedih, belum bahagia, dan dia juga masih sering ngerasain sakit, tapi dia selalu menutupinya dengan tawa dan senyuman.
Dia manusia paling tegar yang pernah aku temui sepanjang masa.
Ikhlas tidak ikhlas, sekarang cuma bisa bilang yaudah mungkin ini udah takdirnya. Mau gimanapun mengikhlaskan adalah jalan terbaiknya.
Pada akhirnya kita juga akan berpulang ke pangkuan Tuhan. Tinggal menunggu hari dan waktu yang pas.
"Gue harus bisa, semangat Rea." Ucapnya menyemangati dirinya sendiri.
Menarik nafas dalam-dalam. Lalu, melangkahkan kakinya memasuki pemakaman dengan bermodalkan nekat.
Dia berjongkok ke sebuah makam yang terawat. Tangannya bergerak mengelus-elus nisan yang bertuliskan Devian Argantara bin Marcellino.
"Assalamualaikum, Dev. Apa kabar? Pasti baik baik aja dong? Apa kamu bahagia di sana?" Tanya Rea terkekeh kepada nisan didepannya itu.
"Kenapa lo pergi secepat ini sih? Gue kan masih mau bermain sama lo, kayak dulu. By the way, maaf ya, gue baru sempat jengukin lo sekarang. Jujur, waktu itu gue belum siap."
KAMU SEDANG MEMBACA
ALGORITMA [SELESAI]✓
Fiksi RemajaLepas-Ikhlas-Tuntas. Terimakasih telah membuat cerita singkat bersamaku kemarin. ••• Selamat bertemu di titik terbaik menurut takdir. ••• Ini tentang Ansel Arganta Aldridge, si kepala batu yang belum bisa berdamai dengan masa lalunya. Dan juga tenta...