52-Curiga

148 31 8
                                    

Tidak ada yang perlu diakhiri, karena emang kenyataannya dari awal kita tak pernah memulai.

•••

Rea berjalan memasuki rumah dengan mengendap-endap layaknya maling yang mau mencuri barang. Eh, masa maling di rumah sendiri? Kurang aestetik dong!

Pandangannya menyapu sekeliling arah, memastikan bahwa keadaan aman terkendali seperti keinginannya. Ia bersorak senang saat menjumpai ruang tamu tidak ada orang sama sekali.

Matanya membulat sempurna saat melihat laki-laki paruh baya sedang tertidur dengan posisi duduk di salah satu sofa yang terdapat di ruang keluarga, dan di depannya terdapat laptop yang masih menyala.

Sepertinya laki-laki itu nampak kelelahan. Dirinya merasa kasihan dengan Aldo yang sepertinya tidak nyaman tidur di sofa. Guratan-guratan di wajahnya menandakan bahwa laki-laki itu tidak nyenyak.

Baru beberapa langkah mendekati sofa tempat Aldo tidur, tiba-tiba Rea memberhentikan langkahnya dan menatap raut wajah yang dulu pernah menjadi idolanya semasa kecil.

Wajah yang kian hari semakin bertambah keriput, menandakan bahwa laki-laki itu tak lagi muda. Semakin di lihat, semakin besar pula rasa bersalahnya terhadap Aldo.

"Rea-nya Papa nanti kalo udah besar mau jadi apa, hm?" Tanya laki-laki paruh baya seraya mendudukkan Rea kecil di pangkuannya.

"Lea mau jadi powel langels, Papa!" Balas Rea kecil antusias.

"Power rangers?" Beo Aldo memastikan yang dibalas anggukan kepala oleh anak gadisnya.

"Tapi Lea juga mau jadi doktel."

"Kenapa princess kecilnya Papa ini mau jadi dokter?"

Rea kecil mengetuk-ngetuk dagunya menggunakan jari telunjuk seraya berpikir. "Nanti kalo Papa sama Mama sakit, bial Lea bisa nyembuhin. Tapi kalo bisa, jangan sakit, nanti Lea sedih."

Aldo tersenyum hangat. Lalu, mengacak-acak rambut Rea kecil dengan gemas. "Aish, Papa!"

Seperkian detik, Ia menggeleng cepat. Dirinya membalikkan tubuhnya dan melangkahkan kakinya menaiki tangga menuju kamarnya dengan perasaan acuh tak acuh.

Setelah melakukan rutinitas bersih-bersih tubuh, gadis itu merebahkan tubuhnya di kasur kesayangannya. Hari ini benar-benar hari yang membuatnya letih.

Mencoba tidur dengan posisi terlentang, tengkurap, ke samping kanan, ke samping kiri dan berguling-guling, tetap saja matanya sulit diajak kompromi. Padahal keadaannya sudah ngantuk berat.

Kali ini pikirannya kembali kacau. Perasaan bersalahnya terhadap Aldo semakin menjadi-jadi. Satu persatu kenangan membanjiri pikirannya, membuat ia menjadi tambah gusar.

Rea mendudukkan tubuhnya di pinggir kasur. "Kenapa gue jadi ngerasa bersalah gini sama Papa, sih?" Tanyanya frustasi. "Kasihan Papa tidur di sofa, pasti tidurnya gak nyenyak. Pasti capek ya sampe tidur di sofa gitu?" Lanjutnya tanpa sadar.

"Kenapa gue jadi peduli? Fix, gue kayaknya udah gak waras." Gumam Rea ngasal. "Pokoknya habis ini gue harus bisa tidur. Harus bisa!"

Dia berjalan dengan langkah gontai keluar dari kamarnya menuju kamar tamu untuk mengambil selimut dan membawanya menuruni anak tangga.

"Kenapa harus tidur di sofa, sih? Ngerepotin aja! Emangnya Nenek Lampir sama Kuda Lumping pada ke mana, coba?" Gerutunya seraya melangkahkan kaki menuju ruang keluarga.

Ia membentangkan selimut tebal berwarna abu-abu dan menyelimuti tubuh Aldo dengan penuh hati-hati agar tidak membangunkannya.

Gadis itu menghela nafas panjang setelah melakukan apa yang disuruh oleh kata hatinya. Lantas, berjalan kembali menuju kamarnya. Perasaan yang semula gusar, ntah kenapa sekarang menjadi lega.

ALGORITMA [SELESAI]✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang