12

613 100 35
                                    

Guys, sekali lagi aku tekanin, fokuslah sama jalan ceritanya; konflik dan penyelesaiannya. Tolong jangan salah paham, bukan saya suruh kalian untuk JANGAN menjadikan NaruHina sebagai patokan utama untuk menikmati cerita ini, hanya saja ... kalian bisa bosan kalo kayak gitu. Karena cerita buatan saya memang bukan hanya terpusat sama mereka berdua, tapi lebih ke titik masalahnya. Kalo kalian cuma nyari scene NaruHina ya... gimana ya, saya gak bisa. Gimana mau paham alur lengkapnya dan sisi karakter lain di dalam cerita kalo kepengennya hanya NaruHina aja, wkwk.

Jangan salah paham, ya :')




KUMORI

Story by Eminamiya

Rate : M

WARNING!!
Typo(s), alur cepat dan ringan, banyak kata yang berulang-ulang, plot pasaran


HARGAI USAHA PENULIS DENGAN CARA TIDAK MENJIPLAK ATAU MENG-COPY CERITA INI

DON'T LIKE, DON'T READ

- Happy Reading -




Sebuah sendok berbahan plastik berwarna biru langit secara perlahan Hinata gerakkan menuju wajah bayi bulat dalam pangkuan tubuh; Neji, bak tengah menerbangkan sebuah pesawat mainan. Suara tawa berhembus lucu mengisi atmosfer kala sesekali ujung benda tersebut sengaja disentuhkan pada ke-dua belah pipinya.

Hinata tertawa pelan. Hanabi yang tengah duduk di depan, pun ikut tersenyum. Anak dan adiknya terlihat menggemaskan jika bersama. Sesaat, sebuah kain kecil diulurkan pada Hinata guna bisa menghapus jejak bubur yang menempel pada bagian bawah mulut si bayi, lalu setelah itu, Hanabi meluruskan pandangan pada satu-satunya pria dewasa di antara mereka.

Ia menatap Kiba dengan senyuman teduh.

"Jadi ... bagaimana?" suara yang mengudara untuk pembahasan awal, berhasil menarik atensi Kiba yang sejak tadi pula sedang memperhatikan Neji.

"Ya?"

"Apa kalian sudah menetapkan tanggal pernikahannya?"

Kini, giliran Hinata yang ikut menatap. Gerak tangan yang sedang menyuapi Neji, mendadak terhenti. Ada rasa tak menentu ketika hal ini menjadi hidangan pembicaraan. Gejolak pada batin menjadi tak stabil. Tundukan kepala Hinata kembali terjadi, berpura-pura untuk sibuk melanjutkan kegiatan menyuapi Neji.

Kiba tampaknya menyadari gurat tak tenang yang Hinata tampilkan, sadar bila - sepertinya - sang kekasih tak berniat sama sekali untuk masuk ke dalam permbahasan. Alhasil, ia putuskan untuk membuka mulut guna menanggapi.

"Sebenarnya, belum. Aku dan Hinata masih memikirkan banyak hal lagi sebelum benar-benar sampai ke tahap itu," Kiba mencoba untuk memperlihatkan senyuman terbaik yang bisa dia ciptakan. Hanabi mengangkat kedua alis untuk menunjukkan sebuah garis keberatan meski tak begitu kental.

"Belum? Memangnya apa lagi yang harus dipikirkan? Akan tidak baik jika kalian terus menunda. Kalian tahu 'kan, jika hubungan yang berjalan ke tahap semakin serius biasanya akan sering mendapat cobaan-cobaan. Lebih cepat akan lebih baik bagi kalian berdua." Hanabi beralih menatap pada sang adik. "Hinata, kau mendengarku?"

Seketika, Hinata terlonjak ketika namanya ikut disebut. Tatapan kedua wanita bertemu sebentar, dan Hinata kembali berpaling ke arah lain saat sorot serius kakaknya seolah tengah menuntut keras.

"Kami bisa mengurus masalah ini sendiri," ucapan Hinata begitu pelan, namun Hanabi dapat mendengar dan menggeleng pelan.

"Anak ini--"

Kumori ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang