31

1K 62 15
                                    

Hinata sedang menggenggam sebatang bunga kecil di antara himpitan ibu jari dan jari telunjuk; menggerak-gerakkan kelopak kuning tersebut dengan perlahan--seolah tengah mengikuti gerak angin.

Kedua kaki yang bertumpu pada rerumputan, pun ikut ambil bagian--sengaja diberi tolakan secara halus agar tubuh yang tengah terduduk di atas ayunan dapat bergerak selaras dengan nada maju dan mundur yang diharapkan.

Kepala yang dipenuhi rambut panjang terkepang satu di bagian sisi kanan, mendongak ke atas guna menangkap pemandangan langit luas yang dipenuhi oleh awan pekat sewarna gaun rumahan selutut yang ia kenakan; abu-abu.

Langit mendung yang tersaji luas di atas sana, membuat Hinata memejamkan mata dengan tenang. Sekali lagi angin berhembus, kali ini, tangkai bunga yang sedari tadi ia pegang--ikut terjatuh.

Telapaknya beralih, kali ini menyentuh pelan perut besar yang telah menginjak usia tua. Sebentar lagi, mungkin saja 'sesuatu' di dalamnya akan siap melihat dunia.

Terkadang, Hinata merasa prihatin, seakan tak siap untuk membiarkan sosok tak bersalah ini dihadapkan dengan kehidupan yang ada. Dunia itu kejam. Hinata hanya takut bila nanti, bayi-nya akan tersakiti.

"Sebentar lagi akan turun hujan, sebaiknya, masuklah ke dalam rumah."

Tanpa berniat menoleh, Hinata hanya menggumam pelan untuk menanggapi. Ia tahu jika ibunya sedang berada di belakang. Sudah dua hari ini beliau menempatkan keberadaan di sana--ikut tinggal menemani Hinata yang telah beberapa bulan ini terus berada di rumah sang nenek, seperti apa yang ibunya inginkan.

Secara perlahan, sosok wanita dewasa menyentuh pelan pundak sang anak yang tampak lemah. Sepasang mata yang sedari tadi tengah tertuju pada langit, kini beralih untuk menoleh. Hikari dapat melihat dengan jelas wajah cantik putrinya yang terlihat begitu sendu.

Mengingat kembali bagaimana hari itu terjadi, hari di mana Hinata tiba-tiba saja kembali padanya setelah beberapa lama menghilang. Hinata menangis--bahkan sebelum langkahnya masuk secara penuh ke dalam rumah. Terus sesegukkan dan segera menghamburkan diri ke dalam pelukan sembari meminta maaf berkali-kali.

Hikari tahu jika telah terjadi sesuatu, akan tetapi, setiap kali ia bertanya, Hinata terus menutup diri untuk mengungkapkan. Bahkan hingga kini, saat sekali lagi dirinya mendapati putri kesayangannya sedang duduk termenung sejak beberapa waktu yang lalu, Hikari tahu bila ada sesuatu yang kembali memberi usikan.

"Apa yang kau pikirkan?" pertanyaan meluncur. Hinata hanya menggeleng sambil bergeser pelan agar memberi tempat bagi sang ibu mengambil bagian di sebelahnya. Ayunan besar di taman belakang sedikit bergerak saat Hikari ikut mendaratkan diri.

"Kau merasa khawatir karena tak lama lagi akan memasuki waktu melahirkan?" tanya berlanjut, selaras dengan tatapan Hikari yang melemah saat melihat ukuran cukup besar pada perut Hinata; sosok yang pada awal kehadirannya membuat si wanita dewasa nyaris saja ingin meraung karena rasa kecewa. Sesak karena Hinata harus memilikinya di waktu yang tidak tepat. Namun kini, semua terasa berubah. Entah mengapa, ia berharap bisa segera bertemu dengannya.

"Tidak, Ibu," Jawaban dari mulut Hinata yang sedari tadi diam--akhirnya terdengar. Tangan itu memberi remasan kecil pada kain abu-abu di atas paha--hendak mengungkapkan apa yang sebenarnya ada dalam hati, serta yang sudah sejak beberapa minggu ini selalu menjadi buah pikiran. Namun, ia merasa ragu. Hinata tidak yakin jika ibunya akan senang bila mendengar.

"Lalu, ada apa? Ibu perhatikan, akhir-akhir ini kau terlihat sangat murung. Jika ada yang menggangu perasaanmu, katakan pada Ibu."

Hinata menoleh, namun, mulut tetap tertutup tak bergerak--bahkan hingga pada akhirnya ia kembali berpaling dan--sekali lagi--menatap lurus pada kedua kakinya sendiri.

Kumori ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang