Flashback,
"Ibu!"
"Di mana adikmu?"
"Pelan-pelan. Tenangkan diri Ibu dulu."
Hanabi menatap penuh prihatin, memperhatikan penampilan berantakan sang ibu yang masih terlihat begitu kesulitan mengatur peredaran udara yang masuk ke hidung. Napas wanita setengah baya tersengal--cukup kesulitan menyesuaikan tekanan lelah yang dirasakan karena berlari sedikit terburu-buru.
"Dia baik-baik saja. Ibu jangan terlalu panik seperti itu. Bagaimana kalau asma Ibu kambuh lagi? Tenanglah dulu," kembali, Hanabi berseru. Lengan kanan nyonya Hyuga--ia raih guna menuntun secara perlahan, berjalan masuk menuju ke satu ruangan di mana sang adik; Hinata, tengah terbaring.
Gema langkah mengisi waktu. Sesekali, Hanabi akan melirik untuk memastikan jika ibunya baik-baik saja, walau pada kenyataan, sorot kekhawatiran yang begitu jelaslah yang didapati pada wajah sendu yang terpatri.
Terus seperti itu, bahkan, setelah langkah mereka tinggal berjarak beberapa meter dari pintu bercat putih tempat Hinata berada.
"Itu ruangannya."
Hanabi menunjuk. Sang ibu yang tak bisa menahan segala kekalutan dalam diri--segera melepas pegangan lengannya, lantas menuntun langkah untuk bergerak semakin cepat agar mendekat.
Kedua mata sejenak melirik, menatap sosok pria yang sedang duduk pada kursi tunggu tak jauh dari lokasi ruangan yang hendak dimasuki.
Tatapan mereka bertemu. Hyuga Hikari sedikit mengernyitkan dahi saat sorot tertegun--pria tersebut tampilkan ketika melihat dirinya. Namun, karena tak mengenal, ia hanya berlalu begitu saja untuk memasukkan diri ke dalam ruangan, dan mata segera membulat kala melihat sang anak terkasih yang masih tak sadarkan diri di sana.
"Hinata!" Ia memanggil. Sarat akan kecemasan. Dengan cepat, sebelah tangan Hikari menggenggam jemari sang putri dengan erat, lalu kembali menatap pada Hanabi yang juga telah berdiri di dekatnya.
"Sebenarnya, apa yang terjadi?! Kenapa adikmu bisa seperti ini?! Sakit apa dia?! Kenapa bisa mendadak pingsan seperti ini?!"
Pertanyaan berantai terdengar. Hanabi hanya bisa menghela napas dengan berat.
Ia kacau. Ada rasa takut untuk mengatakan kebenaran kepada sang ibu mengenai keadaan Hinata, namun, ia akan merasa begitu bersalah bila tak bicara dengan jujur. Lagi pula, tak akan ada gunakan jika berbohong, toh, pada akhir, semuanya pasti akan tetap terungkap.
"Ibu ..." Hanabi memanggil, sepasang mata di hadapannya menatap dengan serius untuk sebuah kepastian. "Erg ... itu ... Hinata, dia--"
"Katakan dengan jelas, Hanabi! Dokter sudah memeriksanya, bukan? Apa katanya?"
Satu hembusan napas kasar--Hanabi keluarkan. "Dia baru saja mengalami keguguran."
Terdiam. Hikari mendadak terpaku. Matanya membulat secara perlahan dengan genggaman tangan yang semakin dan semakin mengerat pada jemari Hinata.
"Apa katamu?" Ia berbisik pelan.
"Hinata ... dia sedang mengandung, dan janinnya tidak bisa berta--"
"Tidak mungkin!"
Ucapan Hanabi terpotong. Satu remasan kuat pada kedua lengan ia terima saat sang ibu telah menghadapkan diri. Hanabi merasa begitu terpukul saat sorot mata berkaca di hadapannya menatap begitu lekat.
"Itu tidak mungkin, Hanabi! Hinata bukan anak seperti itu! Dia anak yang sangat baik! Tidak mungkin--"
"Tapi itu benar, Ibu!" Kedua alis Hanabi menaut dalam. "Semua itu benar."
KAMU SEDANG MEMBACA
Kumori ✔
FanfictionSekadar pemberitahuan, kalau nanti kalian nemuin catatan yang lumayan panjang, tolong dibaca, ya, biar paham alasan mengapa karakter Hinata dibuat sedemikian rupa di cerita ini ^^ Terima kasih. *** Sinopsis: "Aku merindukanmu." Mata Hinata membulat...