Sudah sejak setengah jam lalu Hinata duduk di sana; memandang lurus pada hamparan langit luas--di mana beberapa ekor burung tampak terbang saling berdampingan menuju puncak dari ujung menara gereja yang kebetulan terlihat dari posisi berada.
Meski hari terlihat begitu cerah, bahkan, hanya ada beberapa lembaran awan tipis yang terlihat bergerak begitu pelan di atas, namun, rasanya tak bisa menghadirkan setitik pun kehangatan dalam diri.
Semua terasa kelam. Terasa berat dan menyesakkan.
Jika saja bisa merubah diri menjadi debu, mungkin Hinata akan memilih larut dan hilang dibalik guyuran hujan.
Dia lelah. Ia ingin semua berakhir jika memang itu adalah hal yang lebih baik agar perasaan tak lagi merasakan siksa.
"Boleh aku duduk?"
Netra jernih yang tampak sembab--menoleh. Hanabi sedang mengambil posisi duduk di hadapan--ikut mengarahkan diri pada daun jendela yang terbuka lebar, agar angin luar dapat masuk menyejukkan ruangan. Hanya sebentar, karena setelahnya, mata kini bertemu. Sebelah tangan Hanabi menyentuh lembut punggung tangan sang adik di atas pangkuan dan menggenggam dengan tulus.
"Kau sudah melakukan pilihan yang tepat," ucapnya, membuat Hinata segera berpaling--tanpa niat sedikit pun memberi tanggapan.
"Ini hanya sementara. Semua akan baik-baik sa--"
"Kakak tidak mengerti." Hinata memotong.
Meski tanpa melirik ke arahnya, Hanabi tahu, jika saat ini, sang adik tengah menahan kesedihan besar. Terbukti dari mata yang tampak bergetar kecil.
"Maaf. Tapi ini untuk kebaikanmu, Hinata. Kau tahu jika ibu tak pernah sedikit pun berniat menyakitimu. Dia menyayangimu dan menginginkan yang terbaik untukmu. Ibu hanya tak ingin kau berada dalam masalah besar jika terus-menerus seperti ini. Ibu--"
"Aku tahu." Hinata memejamkan kedua mata--merasakan hembusan angin kecil yang membuat kelopak sembabnya terasa perih.
Sakit, namun, perasaannya jauh lebih sakit.
Ia paham jika sang ibu menginginkan yang terbaik untuknya; berusaha mencegah masalah yang akan berubah menjadi semakin besar bila ia tetap bertahan. Hanya saja ... hanya saja bukan ini yang diharapkan. Bukan seperti ini yang Hinata inginkan.
Tak ada yang salah dengan perasaannya, namun, keadaan yang membuat semua terlihat salah.
Kenapa? Ia jadi benci dengan hidup ini.
"Aku senang kau bisa memahami."
Satu sentuhan halus--kembali Hanabi lakukan, dan selanjutnya beranjak pergi guna memberi sang adik waktu menenangkan diri.
Tenang?
Hinata bahkan tak bisa merasakan ketenangan sekecil pun.
Drrt ... drrt...
Ponsel yang tergeletak di sisi tubuh--terasa bergetar. Kala mata menemukan satu pesan dengan nama Naruto sebagai pengirim, bendungan tangis yang Hinata tahan terasa nyaris hancur. Dada begitu sakit, apalagi, ketika deretan kalimat yang menanyakan keadaannya saat ini--yang Hinata yakini jika sang kekasih pasti sedang mengkhawatirkannya, membuat pertahan runtuh pada akhir. Meski telah berusaha sekuat tenaga bertahan, namun tetap saja, lelehan tersebut terus jatuh dan mengalir di pipi.
Naruto-sensei
[Hinata, kau baik-baik saja?]"Sensei..." gumam pedihnya terselubung di balik dekapan mulut. Ia tak tega. Rasanya, untuk mengetikkan beberapa baris kosa-kata guna membalas, pun Hinata tak mampu. Ia tak tahu harus bersikap seperti apa setelah memilih untuk meninggalkan sang pria agar ibunya tak tersakiti.
KAMU SEDANG MEMBACA
Kumori ✔
FanfictionSekadar pemberitahuan, kalau nanti kalian nemuin catatan yang lumayan panjang, tolong dibaca, ya, biar paham alasan mengapa karakter Hinata dibuat sedemikian rupa di cerita ini ^^ Terima kasih. *** Sinopsis: "Aku merindukanmu." Mata Hinata membulat...