Surai panjang terjuntai jatuh, melambai kecil pada bagian ujung lembut--saat kepala sang empunya bergerak-gerak lucu sebanyak beberapa kali; memperhatikan penampilan diri pada cermin seukuran tinggi badan di hadapan.
Satu helaan napas--berhasil lolos, menghembus pasrah melalu belahan bibir seraya tubuh sedikit tersentak kaget saat merasakan satu dekapan dari balik punggung.
Hinata menoleh dan menemukan wajah baru bangun Naruto yang sedikit ditundukkan agar bisa bersanggah pada pundak kecilnya serta memberi satu kecupan singkat pada sela leher sang wanita untuk salam selamat pagi.
"Ada apa?" akhirnya, Naruto bertanya saat menyadari jika sedari tadi--wajah berparas lembut terus tertekuk suram.
"Sensei, apa aku terlihat semakin gemuk?"
Pertanyaan yang lucu. Naruto kembali mendaratkan satu kecupan manis pada pipi menggemaskan Hinata sebagai hadiah karena telah memberi hiburan pertama baginya di hari ini.
"Kau terlihat semakin cantik," balasnya kemudian sembari menenggelamkan wajah setengah mengantuk ke dalam ceruk leher sang wanita, dan mengelus pelan perut Hinata dengan sayang.
"Aku menyukai aromamu," lanjutnya, serta kali ini mendapatkan sebuah goncangan pelan dari pundak yang ia gunakan sebagai sandaran. Hinata mencoba melepaskan diri dari pelukan.
"Ada apa?"
"Bukankah Sensei harus bekerja?"
"Masih lama. Biarkan aku memelukmu dulu."
"Sensei..."
Naruto menyerah. Tubuhnya memilih melepaskan diri, lalu merenggangkan kedua tangan ke atas--sebelum menguap dengan lebar.
"Baiklah, aku akan pergi mandi saja kalau begitu," ujarannya berhasil menghadirkan senyuman lembut di wajah Hinata. Jemari kecil dan lentik sang wanita terulur untuk menyentuh halus wajah pria di hadapannya, lantas terkekeh pelan.
"Sensei juga harus segera bercukur. Dagumu sudah terasa cukup kasar."
"Kupikir, kau menyukai yang kasar-kasar."
Wajah Hinata berubah datar. Ia tahu jika Naruto sedang melayangkan guyonan untuk menggoda.
Melihat raut yang terpasang di sana, Naruto hanya tertawa.
"Yah ... sepertinya, aku memang harus segera mandi."
Tubuhnya berjalan menjauh. Melangkah masuk ke dalam satu pintu--berada beberapa meter dari posisi awal, dan meninggalkan Hinata yang hanya mampu menghela napas.
Belakangan ini, Naruto memang menjadi sering melontarkan candaan. Hinata paham bila Naruto terus mencoba untuk memberi hiburan agar ia tak menerus berlarut dalam kesedihan.
Saat pertama kali Hinata memutuskan membelok pilihan mengikuti Naruto dan melarikan diri dari kekangan sang ibu, setiap hari memang selalu diisi dengan kemurungan--meski tahu jika saat itu ia telah berhasil mewujudkan impiannya untuk bisa bersama pujaan hati. Akan tetapi, rasa bersalah yang sesekali hadir kala wajah ibunya kembali teringat oleh pikiran, membuat Hinata tak bisa menahan diri untuk tak menangis.
Awalnya, Naruto sempat memberi pengertian untuk memikirkan kembali apa yang ia perbuat, hingga sesekali, mereka akan berdebat kecil. Akan tetapi, meski hati Hinata masih sering kali dilanda kegundaan, ia tetap berteguh untuk bersama si pria.
Hinata hanya berusaha meraih apa yang ia inginkan dalam hidupnya, serta, apakah itu sebuah kesalahan?
"Kenapa Sensei selalu saja berantakan?" gumam meluncur saat kedua mata mendapati ranjang pada sisi ruangan yang terlihat begitu berantakan--tempat di mana posisi Naruto terlelap semalam. Hinata berjalan dengan perlahan guna mendekat, serta coba meraih sebuah selimut besar yang masih tergulung kesana-kemari di atasnya. Hinata harus sedikit memberi topangan kecil pada bagian perut bawah saat ia hendak menunduk, agar tekanan yang diberikan pada perut yang semakin membuncitnya, tak begitu besar dan membuat kesulitan.
KAMU SEDANG MEMBACA
Kumori ✔
FanfictionSekadar pemberitahuan, kalau nanti kalian nemuin catatan yang lumayan panjang, tolong dibaca, ya, biar paham alasan mengapa karakter Hinata dibuat sedemikian rupa di cerita ini ^^ Terima kasih. *** Sinopsis: "Aku merindukanmu." Mata Hinata membulat...