28

320 44 5
                                    

"Aku tak pernah menangis hanya karena seorang perempuan. Hal itu takkan pernah terjadi." -- Inuzuka Kiba




____________________________




Dengan langkah yang terpacu cepat menuruni tiap anak tangga, Kiba mengerang secara tertahan. Jemari saling terkepal dengan kuat pada sisi tubuh guna meredam segala gejolak yang dirasakan.

Seharusnya, ia tak boleh bertindak gegabah saat menyerukan kenyataan mengenai keadaan Hinata. Begitu menyesal. Teramat sangat menyesal hingga ingin rasanya membanting apa pun yang ada di sekitar hingga hancur. Namun sayang, Kiba sadar jika segala luapan emosi yang dilakukan, takkan bisa mengubah keadaan. Semua telah terbongkar, serta Kiba benar-benar tidak menyangka akan kehadiran ibunda Hinata di sana.

Benar, seharusnya, ia bisa menahan diri. Akan tetapi, segala kontrol seketika hilang saat melihat bagaimana tubuh Hinata terjatuh begitu saja--karena Naruto.

Sial!

Kiba mendesis tertahan. Menendang sebuah kerikil kecil hingga terpental cukup jauh saat diri telah berada di dasar apartemen. Satu tarikan napas panjang--ia laksanakan, lantas, sejenak gerak langkah terhenti saat sebuah panggilan berasal dari balik punggung--terdengar.

Kiba tak perlu berbalik, sebab, sudah menghafal dengan jelas siapa pemilik suara berat tersebut.

Maka, Kiba bersikap tak acuh. Menulikan telinga dan kembali melanjutkan perjalanan. Suasana hatinya terlampau sangat buruk dan tak ingin berurusan dengan siapa pun. Namun, kala sekali lagi suara terdengar untuk menyebut namanya,

“Kiba, tunggu!”

Dengan gerakan cepat dan emosi, sang pemuda berbalik dan memperlihatkan raut kesal yang tak bisa disembunyikan pada wajah. Tatapannya tertuju tajam dan lurus pada pria yang sedang berjalan mendekat.

“Apa maumu?!”

Dengan nada kasar--Kiba berseru. Serta dengan satu helaan napas--Naruto menanggapi.

Mata saling mendelik, sebelum untuk ke dua kali--Naruto meloloskan helaan napas melalui hidung.

“Aku hanya ingin berbicara denganmu.” Ia berkata, membuat Kiba berdecih sinis.

“Tak ada yang perlu kubicarakan dengan—“

“Apa maksud dari perkataanmu tadi?”

Kiba terdiam. Tangan yang masih setia mengepal di sisi tubuh, berubah semakin erat. Raut wajah kian kelam, terlebih saat menyadari jika Naruto sedang memperhatikannya dengan begitu serius--seolah mengasah emosi yang kembali terasa tersulut dalam diri.

“Kiba,” lagi, suara terdengar memanggil. Terus berusaha mendapat jawaban atas pertanyaan yang baru saja dikemukakan.

Sejujurnya, Naruto paham. Ia sangat mengerti apa yang Kiba utarakan. Namun, dirinya hanya ingin memastikan.

Karena sejak kalimat mengenai keadaan Hinata mengudara, segala macam pertanyaan mulai hadir di dalam kepala. Sebab, jika apa yang dikatakan Kiba adalah benar, lalu, mengapa Hinata tak pernah mengatakan apa pun kepadanya? Kenapa ia harus mendengar hal tersebut dari mulut Kiba? Kenapa demikian?

“Bukankah sudah jelas?” Kiba menatap tajam. Suara yang keluar melalui tenggorokan--terdengar begitu berat dan dalam. Fakta yang telah lolos dari mulut--nyatanya--memang tak bisa ditarik kembali. Semua telah terumbar dengan jelas. Segala yang terjadi disebabkan oleh pria ini; orang yang menjadi poros utama dari masalah.

“Sudah sangat jelas jika kau telah menghancurkan banyak hal," lanjutnya dengan penuh penekanan.

Benar. Naruto memang telah menghancurkan segalanya. Perasaan, harapan, bahkan mimpi yang dimiliki. Segalanya berubah menjadi berantakan sejak saat itu.

Kumori ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang