.
.
.
.
.
.
.
Happy Reading"TAMARA." teriakan dari Bagaskara menggema didalam ruangan. Ia kelimpungan mencari istrinya. Setelah mendapat kabar dari seseorang bahwa istrinya berada disini, ia langsung datang kemari.
Tiba-tiba seorang pria yang sangat ia kenali berjalan menghampirinya.
"Selamat datang tuan Bagaskara." Sapanya dengan senyum lebar.Bagaskara mengerutkan kening, "Adiwijaya?"
"Iya saya." Jawabnya santai.
Bagaskara mengepalkan tangannya, "Berani sekali kamu! Dengan alibi ingin membantu saya, kamu mengambil semua aset saya!."
Adiwijaya terkekeh, "Anda yang terlalu bodoh."
"ADIWIJAYA." Bagaskara mencengkram kerah baju pria yang ada didepannya. Bukannya gentar pria itu malah semakin tersenyum lebar.
"Kamu lupa istrimu ada bersama saya? Saya bisa lakukan apa saja pada istrimu." Ancam Adiwijaya.
Bagaskara menggertakkan giginya, "Dimana Tamara?!."
Adiwijaya tersenyum, "Kenapa buru-buru sekali? Kamu tidak ingin bertemu dengan orang lain?."
"Siapa?."
"Orang yang sangat kamu kenal."
Bagaskara mengerutkan keningnya.
"Tidak perlu.""Anda yakin?."
"Saya bilang bawa saya pada Tamara!."
Pria itu terkekeh, "Oke, tapi pertama-tama jauhkan tanganmu dari baju saya." Suruh Adiwijaya, akhirnya Bagaskara melepaskan cengkraman tangannya.
Dua pria paruh baya itu berjalan beriringan menuju kesebuah ruangan. Alis Bagaskara bertaut melihat kondisi ruangan ini yang sangat berdebu dan juga minim cahaya. Ia bahkan enggan berada disini hanya untuk beberapa detik.
"Kamu kurung Tamara disini?." Tanya Bagaskara.
"Bukan, saya sudah bilang akan menunjukkan seseorang."
"Saya bilang tidak!, lebih baik kamu tunjukan dimana Tamara." Bagaskara berniat pergi tapi Adiwijaya menahannya.
"Sabar dulu, Bagaskara. liat siapa yang ada disini." Adiwijaya membawa Bagaskara berjalan mendekati tawanannya.
Dahi Bagaskara mengernyit, "Lyn?."
Gadis yang tengah terduduk lemas itu perlahan membuka matanya. Netranya tanpa sengaja menangkap sosok yang sangat ia kenal. "Papa." Panggilnya. Tangannya sudah tidak diikat lagi, namun tubuhnya tidak dapat bergerak lantaran terlalu lemas
Kepala Bagaskara menoleh kepada Adiwijaya, "Maksudmu apa?."
"Saya berniat baik mempertemukan anak dan ayah." Tutur Adiwijaya.
Bagaskara membuang muka, "Saya tidak peduli. Dia bukan anak saya." Dada Lyn terasa sesak mendengar penuturan ayahnya, padahal sebelumnya ia sendiri sudah menduga bahwa pria itu pasti akan bersikap seperti ini.
Adiwijaya terkekeh, "Kamu membenci anakmu tanpa alasan."
"Kamu tidak tau apa-apa, Adiwijaya!." Bagaskara melirik Lyn sekilas. "Orang yang kamu sebut anak saya adalah pembawa sial, sejak dia lahir dia hanya memberikan kesialan dihidup saya!."