MM • XXIX (new part) ✓

793 33 6
                                    

TANDAI TYPO ATAU KETIDAKJELASAN

Enjoy Reading Guys

Enjoy Reading Guys

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

»29«

A G N E S berlari mencari keberadaan Abercio dan Agatha, kakinya bergerak cepat menuruni anak tangga yang menuntunnya ke lantai dasar. Mata indahnya mencari kesana kemari, berharap menemukan Agatha dan Abercio hingga matanya yang sedikit sembab itu menangkap punggung Agatha yang sedang diseret oleh Abercio membuat Agnes tanpa menunggu lebih lama langsung berlari ke arah wanita itu dan langsung menarik rambut panjangnya dengan kuat membuat Agatha berteriak kesakitan dan jatuh terduduk di lantai karena Abercio melepaskan cengkeramannya di lengan wanita itu. Kalau tidak, sudah pasti rambut serta kulit kepalanya tercabut.

"Sakit, hiks..." Agatha meringis kesakitan sambil memegang rambutnya yang tengah ditarik.

"Itu belum seberapa dengan sakit hatiku, sialan!" desis Agnes dan semakin mengencangkan tarikannya di rambut Agatha, sedangkan Abercio hanya diam saja melihat aksi itu. Pria bermata biru itu hanya menampilkan raut wajahnya yang datar seperti biasa.

Plak!

Plak!

Dua tamparan di pipi kiri Agatha berhasil membuat pipinya memerah jelas, tenaga Agnes tidak bisa diragukan. Perempuan itu menampar Agatha dengan kekuatan penuh, emosinya benar-benar meledak hari ini. Bahkan setelah menampar Agatha tidak membuat Agnes puas begitu saja. Jemari lentiknya tanpa bisa dicegah naik ke atas lalu mencekik wanita yang sedang ia jambak itu, poor Agatha.

Agnes menatapnya dengan bengis, kedua orang itu saling menatap dengan tatapan yang berbeda. Agatha menatap Agnes penuh permohonan, air matanya mengalir deras dengan mulut yang menganga. Hampir saja Agatha kehilangan nyawanya jika Agnes tidak melepaskan tangannya dari leher wanita itu.

Agatha menghirup udara dengan rakus, wajahnya terlihat amat memerah. Baru merasakan kelegaan dari leher serta kepalanya, Agnes kembali menjambak rambut itu membuat kepalanya semakin sakit dan pusing.

Agatha teriasak, dengan deraian air matanya ia mencoba terus memohon ampun lewat tatapan matanya kepada Agnes. Namun Agnes yang terlanjur emosi justru menghantukkan kepala wanita itu berulang kali di lantai hingga pelipis Agatha mengeluarkan cairan merah. Untungnya wanita itu tidak sampai pingsan, kalau pingsan Agnes tidak bisa menyiksanya lebih lama.

Agnes menginjak kepala Agatha menggunakan kakinya yang terbalut sandal rumahan. "Kau wanita kotor harus diberi pelajaran yang setimpal, cukup sudah aku berdiam diri dan berpura-pura tidak tahu apa-apa," jeda Agnes. "kau pikir aku orang bodoh yang mudah ditipu huh?! Kau salah besar, Agatha. Rencana busukmu itu sudah terbaca sejak awal!" lanjutnya membuat Agatha menelan ludahnya kasar.

Agnes mengetatkan rahangnya. "Kau terlalu meremehkanku karna usiaku, aku tidak membutuhkan waktu yang lama untuk mengetahui segala macam rencana licik yang kau susun itu. Sejak kau menginjakkan kaki disini, dengan melihat tatapanmu saja aku tahu kau wanita licik!"

"Ingin sekali menebas kepalamu, memisahkannya dari tubuh jalangmu ini lalu aku akan mencabut jantungmu dari tempatnya. Tapi, aku tidak tega menyakiti segumpal darah yang sedang bersemayam diperutmu. Bisa dibilang kau selamat," lanjut Agnes, menarik napas panjang. Rasanya begitu sesak di dadanya saat mengatakan itu.

Perempuan itu menarik kembali kakinya dari kepala Agatha. "Karna aku masih punya rasa sadar diri, aku akan keluar dari disini. Aku tidak bisa satu atap dengan wanita jalang yang menjebak Tuannya sendiri dan hamil, aku merasa kasihan dengan anakmu. Kau terlalu menjijikkan Agatha," ucap Agnes dengan santai, Agatha tidak memberi respon apapun karena kehabisan tenaga. Lantai dasar mendadak hening padahal ada begitu banyak orang yang berkumpul.

"Siapa yang memberimu izin keluar dari sini?"

Suara itu menggelegar dibalik punggung Agnes membuat perempuan itu langsung berbalik menatap Jovin yang sedang berjalan menuruni anak tangga. Pria itu berjalan dengan langkah lebarnya yang tegas, sorot matanya yang tajam itu sama sekali tidak melirik kearah lain selain kedepan. Kearah seorang perempuan yang terlihat cukup kacau, Agnes.

"Aku tidak perlu izin seseorang untuk keluar dari sini," jawab Agnes dingin.

"Lagipula, perempuan mana yang ingin tinggal satu atap dengan wanita sepertinya," lanjutnya melirik sekilas Agatha yang masih terbaring lemah diatas lantai yang dingin.

"Apa kata orang nanti saat melihatku? Tinggal satu atap dengan pasangan yang akan memiliki bayi, dan statusku saja di rumah ini tidak jelas. Aku tidak ingin dicap perebut atau sebagainya, karna sejujurnya aku tidak suka ada menilai ku seperti itu."

Jovin menggeram rendah mendengar perkataan Agnes. Ingin sekali pria itu membanting semua barang yang ada di ruangan ini atau mungkin meledakkan kepala seseorang demi menyalurkan segala emosinya.

"Jangan pedulikan wanita itu dan perkataan orang lain! Kau hanya perlu diam dan biarkan aku membereskan semuanya," ucap Jovin dengan nada yang dibuat serendah mungkin, berdiri didepan Agnes dengan wajah yang cukup dekat.

"Tapi aku tidak bisa berdiam diri seakan tidak terjadi apa-apa disini," balas Agnes dengan lirih.

Jovin memejamkan matanya, menarik napas panjang untuk mengatur emosi pria itu. "Jadi, apa mau mu?" tanyanya menatap tajam Agnes.

"Lebih baik aku pergi,"

Jovin menarik keras bahu Agnes dan mencengkeramnya dengan kuat. "Jangan berani memancing emosi ku! Kau bisa meminta apapun kecuali berpisah denganku."

"Bunuh aku kalau begitu!"

Mendengar ucapan bernada tegas tanpa keraguan milik Agnes seakan menjadi mantra untuk pria itu. Tangan besar dan beruratnya yang dipenuhi tato itu langsung mencekik leher Agnes membuat perempuan itu kaget. Tidak menyangka akan respon Jovin.

Cengkraman itu kian kuat membuat Agnes kesulitan untuk menghirup udara sekitar.

"Tuan! Apa yang kau lakukan!" Teriakan itu berhasil membawa kewarasan Jovin, pria itu begitu kaget dengan tindakannya dan langsung melepaskan jemarinya dari leher Agnes.

Perempuan itu jatuh kedalam pelukan Jovin yang masih syok, wajah putih Agnes memerah, matanya sayu sebelum akhirnya tertutup sempurna.

Jovin jatuh bersimpuh di atas lantai dengan memeluk tubuh lemah Agnes. "Oh god, Agnes! Buka matamu!" ucapnya begitu panik, menepuk-nepuk pipi perempuan yang ada dalam pelukannya.

Nori berlari mendekat kemudian duduk bersimpuh sambil mengecek detak nadi dan napas Agnes. "Abercio! Cepat telepon Dokter!" titahnya, raut wajah berkeriput miliknya terlihat begitu panik sekaligus syok saat tadi melihat Jovin hampir membuat Agnes mati kehabisan napas.

Andai Lizzie tidak menelponnya mungkin sekarang nyawa Agnes telah melayang di tangan Tuannya.

"Nori, aku tidak membunuhnya kan?" ucap Jovin lirih, menatap wajah Agnes. Otaknya mendadak kosong, tidak bisa berpikir membuat Nori dilanda ketakutan.

"Jo, cepat angkat Agnes dan masuk kedalam kamar. Dokter akan segera sampai, tenanglah. Agnes pasti akan baik-baik saja," ucap Nori, menatap Jovin sambil mengusap bahu pria itu.

Sedangkan orang yang menjadi biang masalah antara Jovin dan Agnes, tersenyum miring. Dia senang! Walau dalam keadaan sekarat, tidak ada yang memperdulikannya sekalipun tidak membuat Agatha merasa sedih. Anggap saja kekerasan yang Agnes terima adalah balasan karena perempuan itu telah menyiksanya tadi.

"Akhirnya mereka bertengkar, setelah ini tidak ada harapan lagi dari hubungan kalian." lirih Agatha sebelum kedua matanya tertutup dengan senyum kecil yang menghiasi bibir pucatnya

TO BE CONTINUED
——————————————————

Instagram:
@the_babyfiin

Revisi
Mon, 28 August 2023

Mr. Mafia [JAZZTON SERIES 1]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang