"Hei, wake up. Heii." seseorang mengguncang bahuku pelan.
Aku mengerjap ngerjapkan mataku dan menguap lebar. Aku terbelalak kaget ketika melihat wajah Zayn hanya berjarak sekitar 5 cm dari wajahku.
Aku berteriak dan hendak menamparnya. Tapi dengan cekatan dia menangkap tanganku yang hendak melayang ke pipinya. Aku menelan ludah dengan susah payah karena sekarang dia menatapku dengan intens.
Dia menaikkan kedua alis tebalnya. "Apa? Kau mau aku juga masuk ke rumah sakit karena kau tampar?"
Aku menggeleng dan cepat cepat melepaskan cekalannya. "Ti...tidak. Sedang apa kau?"
Zayn terkekeh. "Kau kira aku akan menciummu? Iya begitu? Oh god yang benar saja. Aku hanya mau membangunkanmu, bodoh."
Aku melengos kesal dan segera turun dari mobil. "Aku tidak berpikiran seperti itu. Aku kan hanya bertanya."
"Hei, Spring!" panggilnya kencang dan aku bisa merasakan kalau dia ikut turun dari mobilnya.
Aku tidak menghiraukannya dan terus berjalan ke dalam halaman rumah Stella. Itu pembalasan untuk yang di rumah sakit tadi. Bukannya dia juga membuatku harus meneriakkan namanya berulang kali dan dia tidak mau berhenti sama sekali? Dan aku harus membalasnya sekarang.
Aku memencet bel rumah Stella dengan berharap kalau Stella masih tinggal di sini. Nihil. Rumah ini sangat sepi. Aku memencetnya lagi. Masih sunyi.
"Bagaimana? Apa Stella ada di rumah?" tiba tiba saja Zayn sudah berdiri di sebelahku.
Aku memutar bola mataku. "Itu bukan urusanmu. Urusanmu hanyalah mengembalikan kartu pengenalku. Lebih baik kau pulang deh."
Zayn menggaruk garuk rambutnya lalu memasukkan kedua tangannya ke dalam celana jeans yang dipakainya. "Well, kuberitahu sesuatu tentang Stella, okay? Stella itu-"
"Memangnya kau kenal dengan Stella?" aku memotong ucapannya sambil menatapnya sangsi.
Dia mendecak kesal. "Kalau aku bicara, itu artinya aku tahu! Aku mengenal Stella sudah 1 tahun lebih. Dan kau bahkan belum pernah bertemu dengannya."
Aku memutar otakku. Yang dikatakannya benar juga sih. Aku baru 1 hari di California. Sementara dia kelihatannya sudah bertahun tahun ada di sini. Dia juga kelihatannya sering datang ke kafe tadi. Buktinya dia sampai kenal begitu akrab dengan pelayan wanita yang tadi. Kalau pelayan wanita tadi kenal dengan Stella, kemungkinan besar Zayn juga mengenalnya. Siapa tahu dia bisa memberiku sedikit informasi penting.
Aku menghela nafas. "Well, alright. Ceritakan tentang Stella."
Zayn bersandar di dinding rumah Stella sambil memandang langit. "Stella itu bukan gadis baik baik. Mmm, maksudku bukan berarti dia jahat atau sebagainya. I mean, pekerjaan Stella yang kurang bagus. You know lah what i mean. Stella sering pindah pindah rumah. Atau bahkan setiap hari dia pindah rumah. Rumah ini rumah mantan pacarnya. Setidaknya begitulah."
Aku menganga lebar. "Jadi maksudmu, dia seorang "prostitute"?"
Zayn mengedikkan bahunya. "Bisa dibilang begitu. Yeah, meskipun bukan prostitute resmi, tapi dia selalu mencari uang dengan cara seperti itu."
Aku mendesah pelan. "Kasihan sekali, Stella. Lalu kenapa dia pindah rumah setiap hari?"
Zayn mengerutkan sudut bibirnya. "Menurut penjelasan Daphne, dia selalu menumpang ke rumah rumah orang yang habis menyewa dirinya. Setelah seminggu atau lebih, baru dia pergi dari rumah itu kalau orang yang menyewanya sudah puas dengan Stella."
Astaga. Apa Stella sebegitu buruknya? Kenapa Jane bisa punya teman seperti itu? Sialan. Aku jadi khawatir kalau kalau ternyata Jane juga bekerja seperti Stella. Oh no, no, Spring. Jane gadis baik baik. Dia tidak mungkin melakukan hal yang tidak bermoral seperti itu.
Zayn berbalik menatapku. "So, kau masih berniat untuk menumpang kepada Stella? Dan kau juga masih yakin kalau Stella tinggal di sini?"
Aku mengangguk. "Aku akan menunggu Stella. Pasti ada orang di rumah ini. Aku tidak punya tempat tujuan lain selain rumah Stella."
Zayn memutar bola matanya. "Kau memang idiot. Aku kan sudah jelaskan tadi, kalau Stella tidak pernah punya rumah. Ini rumah mantan pacarnya."
Aku mengerucutkan bibirku. "Tapi aku yakin kok kalau Stella sedang ada di rumah. Siapa tahu infomu itu salah. Siapa tahu Stella memang tinggal menetap di sini."
Zayn menggerutu kesal. "Terserah kau saja. Asal kau tahu, daerah rumah Stella ini sangat rawan. Banyak gangster gangster menakutkan di sini. Aku tidak menakut nakuti, tapi kau bisa terancam bahaya setiap detiknya."
Aku mencibir. "Tidak usah parno seperti itu. Kau hanya berbohong. Aku akan aman aman saja kok. Sudahlah, kau pulang saja. Aku malas melihatmu lagi."
Zayn menaikkan kedua alisnya. "Well, goodluck kalau begitu. Semoga nasib buruk tidak berpihak padamu."
Dan dengan begitu Zayn masuk ke dalam mobil lamborghininya dan segera pergi dari pandanganku. Aku sedikit menyesal karena sekarang aku sendirian di tengah malam di kota besar yang tidak ku kenal dan tanpa seorang pun yang menemani. Tapi kalau pun aku ikut Zayn, aku bahkan baru beberapa jam mengenalnya. Mana mungkin aku menumpang di rumahnya. Dia hanya orang asing yang kebetulan saja kenal denganku. Aku mencoba memencet belnya sekali lagi. Tapi hasilnya tetap nihil. Aku menghela nafas putus asa. Seharusnya aku percaya kepada Zayn kalau Stella tidak akan ada di rumahnya. Tiba tiba aku mendengar seperti suara berisik pria pria yang sedang tertawa tawa. Aku ketakutan bukan main ketika melihat segerombolan laki laki dengan banyak tato di tubuhnya. Beberapa dari mereka sedang mabuk. Aku segera berlari kecil ke belakang semak semak. Oh god, tolong lindungi aku. Tak lama, aku mendengar suara itu semakin samar dan lama lama menghilang. Aku menghela nafas lega karena mereka sudah pergi. Perkataan Zayn memang benar. Daerah ini sangat sepi dan menakutkan. Aku menarik koperku dan berjalan keluar dari halaman rumah Stella. Lebih baik aku cari penginapan yang murah untuk sementara waktu. Aku berjalan dengan gelisah. Air mata mulai mengalir di pipiku. Aku terisak. Seharusnya aku tetap berada di rumah bibi Caroline sekarang. Aku tidak perlu kesusahan seperti ini. Aku segera menghapus air mataku. Calm down, Spring. Kau pasti bisa segera bertemu dengan Jane.
Tiinnn...tiinnnnn....aku mengerutkan dahiku ketika mendengar suara klakson mobil di belakangku. Aku menoleh dan menyipitkan pandanganku karena sinar dari lampu mobil. Aku bisa melihat Zayn dengan wajah inncocent sedang menatapku dari dalam mobilnya. Oh my god. Kenapa dia kembali? Apa yangs sedang dilakukannya? Aku berbalik menatapnya dengan air mata yang masih mengalir. Zayn menatapku dengan intens. Aku hanya bisa menatapnya dengan tatapan tidak percaya. Kami saling bertatapan dengan waktu cukup lama, hingga Zayn bersuara.
"Masuklah."
Aku masih membeku di tempat.
"Aku suruh kau masuk. Ayo cepat. Ikut denganku." Zayn membuyarkan kebekuanku.
Aku menghapus sisa sisa air mataku dan segera masuk ke dalam mobilnya.
a/n: okay fix,meskipun yang baca cuman dikit, dan pada silent readers semua, tapi gue tetep update chapter selanjutnya kok wkwk._.v respect please, vomment kalo udah selesai baca! xx
KAMU SEDANG MEMBACA
SPRING
Fanfictionwhen love is not about who are you and where are you from. it's a love story between Zayn Malik the heirs of Broadway Company and Spring Foster an ordinary girl.