(POV: ZAYN)
"Hei Zayn!" seseorang menepuk bahuku.
Aku menoleh dan melihat Jai sudah berdiri di belakangku. "Ada apa?"
Jai memperhatikan apa yang barusan saja kugambar di atas kertas. "Waw. Aku baru tahu kalau kau punya hobi dan bakat menggambar. Sejak kapan kau suka menggambar seperti ini?"
Aku tersenyum miring. "Sebenarnya aku tidak hobi menggambar. Ini hanya untuk mengisi waktu luang. Lagipula gambarku jelek."
Aku meremas kertasnya dan melemparkannya ke dalam tong sampah. Jai memutar bola matanya. "Oh man! Gambaramu tadi sangat bagus! Kenapa kau buang? Kau ini memang sangat aneh."
Aku mengedikkan bahu. "Biarkan saja. Aku bisa menggambarnya lagi kapanpun aku mau."
Jai mencibir. "Oh ya, kudengar kau akan segera kembali ke New York setelah modulmu selesai."
Aku menghela nafas panjang dan meneguk kopiku. "Entahlah. Tapi kurasa aku tidak ingin kembali."
Jai duduk di kursi kosong yang ada di hadapanku. "Itu memang pilihan yang tepat. Kau tidak perlu kembali ke New York. California jauh lebih baik. Coba lihat wanita wanita sexy yang sedang bermain di pantai itu. Bukankah itu surga dunia?"
Aku terkekeh dan mengalihkan pandanganku ke arah jendela. Pandanganku menangkap sesuatu yang menarik. Aku melihat seorang gadis berambut brunnette panjang sedang menarik koper sendirian sambil melihat sekelilingnya dengan tatapan bingung sekaligus kagum. Yang membuatku tertarik untuk memperhatikannya karena dia mengenakan pakaian yang sederhana dan wajahnya terlihat polos. Aku terus memperhatikannya hingga tiba tiba gadis itu hilang dari pandanganku. Aku mengalihkan pandangaku ke arah Jai.
"Sana pergilah bermain. Aku mau mengerjakan beberapa tugasku." aku mengibaskan tanganku ke arah Jai, mengisyaratkan agar dia pergi.
Jai tertawa dan segera pergi. "Hei bro, kuharap kau segera memilki seorang selingkuhan. Rachel jauh di sana. Dia tidak akan tahu."
Aku tertawa sambil mengacungkan tinju ke arahnya.
(POV: SPRING)
Aku memasuki pelataran sebuah kafe. Kurasa aku berada di jalan yang benar. Kafe ini kafe yang paling besar di Manhattan Beach. Aku menghela nafas lalu mendorong pintu kaca yang ada di hadapanku. Pandanganku menyapu segala arah. Terlalu banyak pelayan wanita yang bekerja di sana. Bagaimana aku bisa mencari wanita bernama Stella dengan rambut pirang dan mata sipit? Aku menarik koperku ke arah meja informasi yang dijaga seorang pria botak berkulit hitam.
"Permisi, tuan. Apa di sini ada pelayan yang bernama Stella?" aku menatapnya dengan penuh harap.
Laki laki itu menaikkan kedua alisnya. "Stella? Aku tidak tahu siapa saja pelayan yang bekerja di sini. Aku juga hanya bekerja magang di sini."
Aku meendesah pelan. "Kalau begitu, siapa yang tahu apakah di sini ada yang bernama Stella?"
Laki laki itu terlihat berpikir. "Kau bisa bertanya ke pelayan pelayan itu. Mereka pasti tahu."
Aku menganga. "Maksudmu, aku harus menanyai mereka satu per satu?"
Dia mengedikkan bahu. "Kalau kau tidak mau susah ya sudah tidak usah mencari. Memangnya kau kira ini kafe ibumu?"
Aku memutar bola mataku lalu segera meninggalkannya. Aku berjalan ke seorang pelayan berambut merah mencolok yang sedang melayani sebuah meja.
"Permisi, nona." aku menepuk bahunya pelan.
Wanita itu menoleh dan tersenyum kecil. "Ya, ada apa?"
"Apa di sini ada yang bernama Stella?" tanyaku penuh harap.
Wanita itu mengangkat bahunya. "Aku tidak tahu. Aku baru bekerja di sini."
Aku mendecak kesal dan beralih ke pelayan lainnya yang sedang mengobrol dengan seorang pelanggan.
"Permisi, nona. Apa di sini ada yang bernama Stella?" aku menatapnya dengan sedikit takut takut karena wanita ini memakai piercing dan rambut yang dicat biru. Dia sedikit terlihat liar.
Wanita itu menggeleng. "Kurasa tidak ada. Entahlah. Kau bisa tanya ke yang lain."
Aku menghela nafas putus asa dan beralih ke seorang pelayan berambut cokelat tua yang sedang mengobrol dengan seorang laki laki berwajah timur. "Permisi, apa kau mengenal pelayan yang bernama Stella?"
Pelayan wanita itu menoleh, dan laki laki berwajah timur yang diajaknya mengobrol juga ikut menoleh sambil menatapku menyelidik seakan akan dia pernah melihatku sebelumnya.
"Stella?" ulang wanita itu.
Aku mengangguk. "Apa kau mengenalnya?"
Wanita itu mengangguk. "Aku mengenalnya. Dia bekerja sebagai seorang pelayan di sini."
Oh god. Akhirnya ada yang mengenal Stella. Aku menghela nafas lega. "Benarkah? Oh thanks god. Dimana dia sekarang?"
Wanita itu mengerutkan sudut bibirnya. "Maaf. Tapi dia sudah tidak bekerja di sini. Dia sudah pindah sebulan lalu. Memangnya ada perlu apa kau dengannya?"
Aku mendesah kecewa. "Aku adik dari temannya Stella. Kakakku menyuruhku untuk mencari wanita yang bernama Stella. Dia bilang kalau Stella bekerja di sini. Aku mau menumpang tinggal dengannya."
Wanita itu mengangguk ngangguk. "Sayang sekali. Oh, tapi aku punya alamatnya Stella. Kau mau?"
Aku tersenyum sumringah dan mengangguk. "Tentu saja. Siapa tahu dia masih tinggal di sana."
Wanita itu meletakkan nampannya lalu mengeluarkan ponselnya. Dia menyodorkannya kepadaku dan aku mencatat alamat Stella di ponselku.
Aku tersenyum ke arahnya. "Terima kasih untuk bantuanmu. Ini sangat berguna."
Wanita itu mengangguk dan menepuk bahuku. "It's okay. Semoga kau segera bertemu dengannya."
Wanita itu tersenyum ke arah pelanggan yang tadi diajaknya mengobrol. "Zayn, aku duluan. Masih banyak pekerjaan yang harus kulakukan. See you later."
Laki laki berwajah timur itu mengangguk dan tersenyum ramah. Oh my god. Aku baru sadar kalau laki laki itu sangat tampan. Tapi tunggu, tunggu. Zayn? Aku seperti barusan saja mendengar nama seperti itu. Tapi dimana ya? Ah sialan. Aku lupa. Sudahlah lupakan. Aku tersenyum canggung ke arahnya dan segera pergi.
vomment guys! xx
KAMU SEDANG MEMBACA
SPRING
Fanficwhen love is not about who are you and where are you from. it's a love story between Zayn Malik the heirs of Broadway Company and Spring Foster an ordinary girl.