Zayn memberhentikan mobil lamborghininya di depan sebuah rumah mewah bergaya pantai yang berada tidak jauh dari daerah pesisir Manhattan Beach. Aku menganga lebar ketika melihat rumahnya yang begitu besar hampir sebesar mall mall. Zayn mencabut kunci mobilnya dan segera turun. Aku masih mengagumi keindahan halaman rumahnya, tidak percaya kalau laki laki itu begitu kaya.
"Hei, sampai kapan kau mau duduk di situ?" suara Zayn membuyarkan lamunanku.
Aku sedikit terkejut dan segera trun dari mobilnya. Zayn berjalan menuju ke arah pintu rumahnya dan membuka pintu itu dengan kunci yang tergabung di kunci mobilnya. Aku mengikuti Zayn masuk ke dalam. Oh my god. Bahkan di dalam rumah Zayn jauh lebih mewah dari yang kukira. Ada sekitar 10 ruangan lebih di dalam rumahnya. Hampir semua dinding di tingkat bawah diberi kaca. Zayn menuntunku ke sebuah ruangan yang ada di dekat ruang makan.
Zayn membuka pintunya perlahan."Ini kamarmu."
Aku menjulurkan kepalaku untuk melihat ke dalam ruangan itu. Speechless. Bahkan kamar ini menyerupai kamar VIP di hotel. Ranjang double bed, lemari pakaian berukuran besar, karpet beludru, televisi LED, AC, dan masih banyak lagi. Aku terkagum kagum ketika melihat kamar itu.
Aku menoleh ke arah Zayn dengan mata yang berbinar binar. "Kau..kau yakin memberikan kamar ini untuk tempat tinggalku sementara? Apa ini tidak terlalu bagus untuk orang asing?"
Zayn mengedikkan bahu. "Ini kamar terjelek yang ada di rumah ini. Dan ini juga satu satunya kamar yang bersih dan sudah tertata rapi."
Aku menghela nafas. "It's okay. Oh ya, by the way, thanks untuk tumpangannya. Maaf kalau aku merepotkanmu."
Zayn menaikkan kedua alisnya. "Ya mungkin aku menyelamatkan hidupmu. Seharusnya kau bersyukur karena bertemu denganku. Bayangkan apa yang terjadi denganmu kalau kau tidak bertemu denganku."
Aku memutar bola mataku. "Iya, iya. Aku mengerti. Terima kasih banyak."
Zayn mengangguk ngangguk. "Well, istirahatlah."
Aku mengangguk dan Zayn berjalan keluar kamar.
"Mmm, Zayn!" panggilku.
Dia menoleh. "Apa lagi?"
Aku menggigit bibir bawahku. "Apa aku boleh meminjam telfonmu? Aku harus menghubungi bibiku. Kau tenang saja, aku akan membayar untuk itu."
Zayn memutar bola matanya. "Memangnya kau punya uang berapa hingga sok ingin membayar?"
Aku mengedikkan bahu. "Uangku cukup kok kalau hanya sekedar membayar biaya telfon."
Zayn terkekeh. "Lebih baik simpan saja uangmu itu."
"Tapi kan-"
"Sudah. Diamlah. Kau ini sangat cerewet." gerutu Zayn kesal lalu segera berlalu keluar kamar.
Aku tersenyum geli ketika melihatnya berkali kali terlihat kesal.
*****************
(POV: ZAYN)
Firasatku benar. Aku akan segera mengerti nama gadis itu. Bahkan sekarang, aku malah memberikannya tumpangan. Aku berjalan ke arah dapur dan membuat 2 sandwich untukku dan untuk gadis itu. Oh I mean, untuk Spring. Hmm, Spring Foster. Nama yang unik. Aku tida pernah mendnegar nama seperti itu sebelumnya. Tapi kalau dipikir pikir dia memang punya senyum yang manis seperti musim semi. Oh god. Berhenti memikirkan senyumnya, Zayn. Kau bahkan baru mengenalnya. Aku meletakkan sandwich yang satu di atas piring dan yang satunya kumakan. Aku membawa sandwich itu ke kamarnya. Aku membuka kamarnya perlahan lahan dan melihat gadis itu sedang berbicara di telfon. Aku bersandar di pintu sambil menunggunya selesai mengobrol. Tiba tiba gadis itu menoleh dan menyadari kehadiranku. Dia sedikit terkejut dan segera mengakhiri pembicaraannya di telfon.
Aku berdehem. "Kau telfon bibimu?"
Spring mengangguk. "Tenang saja. Aku hanya telfon sebentar saja kok."
Aku mendecak kesal. "Kan aku sudah bilang kau tidak perlu mengurusi masalah telfon."
Dia tersenyum kecil. "Kan aku merasa tidak enak denganmu. Aku sudah menumpang tanpa membayar di sini."
Oh. Aku sangat suka dengan senyumnya. Aku menghela nafas. "Aku hanya kasihan denganmu."
Aku menyodorkan sandwich itu ke arahnya. "Ini untukmu."
Spring menatapku sangsi. "I..ini..untukku?"
Aku mengangguk. "Memangnya untuk siapa lagi. Hanya ada kau di kamar ini."
Spring mengerutkan sudut bibirnya. "Kau tidak perlu memberiku makan juga. Aku bisa kok beli makan sendiri. Nanti aku akan terlihat terlalu merepotkan."
Aku mencibir. "Memangnya kau tahu dimana membeli makan? Sudahlah. Kau pasti lapar kan?"
Dia menerima sandwich yang kusodorkan dengan sedikit takut takut. "Kau...yakin?"
Astaga. Gadis ini benar benar membuatku harus memutar bola mata setiap saat. "Kau ini!"
Dia sedikit kaget karena aku membentaknya. Dia mengangguk ngangguk dan segera memakan sandwich yang barusan kuberikan. "Kau tidak usah khawatir. Aku tidak memasukkan racun ke dalamnya."
Spring menggeleng geleng. "Tidak, tidak. Aku tidak berpikiran seperti itu. Aku hanya tidak mau merepotkanmu. Well, thanks kalau begitu."
Aku mengangguk. Aku menatap ke arah meja dan melihat sebuah benda aneh berwarna ungu.
Aku mengerutkan dahiku dan mengambilnya. "Benda apa ini?"
Spring hendak mengambil barangnya, tapi aku mencegahnya. "Itu dream catcher."
Aku menautkan kedua alisku. "Dream...catcher?"
Spring mengangguk. "Penangkap mimpi."
Aku menatapnya tidak mengerti. "Memangnya mimpi bisa ditangkap?"
Spring tertawa kecil. "Itu hanya perumpamaan saja. Maksudnya, benda ini bisa membuatmu bermimpi indah jika kau menggantungkannya di kamarmu. Dan benda ini akan menangkal mimpi mimpi buruk yang datang. Hanya mimpi indah saja yang bisa masuk melalui lubang lubangnya."
Aku menatapnya ragu. "Apa iya seperti itu?"
Spring mendengus kesal. "Itu hanya mitos. Percaya atau tidak kan terserah. Aku hanya suka dengan bentuknya. Aku juga ingin selalu bermimpi indah. Lagipula kudengar, sekarang bermimpi indah itu jadi hal yang langka. Aku saja sering bermimpi buruk."
Aku mengedikkan bahu dan membawa benda itu keluar kamar. "Anggap saja benda ini sewa kamarmu."
Spring mengerucutkan bibirnya. "Tapi kan-"
Aku tidak menghiraukannya dan menggantungkan "dream cather" itu di pintu depan rumahku. Aku menatap dream catcher itu melambai lambai ditiup angin. Apa benar aku akan bermimpi indah?
don't forget to vomments! xx
KAMU SEDANG MEMBACA
SPRING
Fanfictionwhen love is not about who are you and where are you from. it's a love story between Zayn Malik the heirs of Broadway Company and Spring Foster an ordinary girl.