Part 46

27K 1.1K 11
                                    

Ilsa dan Anta berdiri di depan sebuah bangunan yang bertuliskan "Konsultasi Psikolog". Ilsa memegang tangan Anta erat. Ini ketiga kalinya dia datang ke tempat psikolog secara langsung. Pertama saat neneknya meninggal, kedua saat Anta melecehkannya dan saat ini. 

Ilsa menghembuskan nafas pelan, mencoba menenangkan dirinya sendiri. Semoga ini terakhir kalinya dia menginjakkan kaki di ruang psikolog. Ilsa tidak ingin terus terbelenggu dengan kondisi psikisnya.

"Kamu gapapa?" Tanya Anta pelan.

Ilsa mengangguk lemah. Dia menggigit bibirnya. Anta merasakan genggaman tangan Ilsa yang semakin kuat. Anta sendiri tidak paham soal masalah psikis. Dia merasa dirinya baik-baik saja selama ini.

"Kalau takut, lebih baik tunda dulu ya, aku ga mau kamu memaksakan diri" ucap Anta mencoba untuk mengajak Ilsa mengurungkan niatnya untuk berkonsultasi.

Anta tidak masalah soal Ilsa yang belum bisa menerima sentuhannya seutuhnya. Dia tidak memaksa Ilsa melakukan kewajibannya. Dengan adanya Krystal diantara mereka, itu udah cukup buat Anta.

Ilsa menggeleng keras. "Ayok" Ilsa menggeret tangan Anta untuk ikut masuk ke dalam.

Ilsa mendaftarkan diri terlebih dahulu. Dia harus menunggu satu orang yang sedang berkonsultasi saat ini.

Anta memandang sekitar. Di ruang tunggu itu terdapat banyak sekali kata mutiara dan beberapa poster berisi ciri-ciri untuk konsultasi kondisi psikisnya. Tidak banyak orang yang berkonsultasi hari ini. Hanya ada segelintir orang, tetapi tatapan mereka ada yang terlihat sendu, dingin, hingga bahagia seperti tidak ada masalah. 

"Kamu udah kesini berapa kali?" Tanya Anta memecah keheningan.

Ilsa menatap Anta. "Dua kali" balasnya pelan. 

Anta nampak terkejut dengan jawaban Ilsa. Dia tidak menyangka bahwa kondisi psikis Ilsa memang tidak baik. "Kenapa?"

Ilsa menatap bingung Anta. Anta melihat sekarang tidak ada kehangatan dalam wajah Ilsa yang dia lihat beberapa bulan ini saat Ilsa menerimanya. Mereka seperti bukan sosok pasangan. Ah, Anta yang merasakan itu. "Kenapa sampai ke psikolog?" Lanjut Anta.

Ilsa menggeleng. Dia tidak ingin menceritakan alasan dirinya ke psikolog. Hal ini akan membuka luka lamanya. Ilsa memang sudah menerima Anta, hatinya sudah terpaut dengan Anta. Tapi, jika untuk mengingat masa lalu, Ilsa tidak bisa. Ilsa hanya berusaha menutupnya dan melupakannya tetapi tidak dengan menyembuhkannya.

Anta tidak bertanya lebih saat dia tahu Ilsa tidak ingin menceritakannya. Saat ini, Anta akan selalu mengalah untuk Ilsa. Dia tidak ingin menyakiti Ilsa lagi. Anta tidak mau jauh-jauh dari Ilsa. 

Setelah menunggu dengan waktu lama, akhirnya giliran Ilsa yang masuk. Awalnya Ilsa ingin masuk sendiri, tetapi Anta terus meminta masuk, dengan alasan dia ingin tahu kondisi Ilsa. Dan disinilah mereka, di ruang konsultasi bersama dr. Rina yang dulu juga merawat Ilsa.

"Siang Ilsa, sudah lama tidak bertemu, ada yang perlu dibantu?" Sapa dr. Rina ramah.

Ilsa tersenyum menanggapi sapaan dr. Rina. "Saya ingin konsultasi dok"

"Boleh silahkan, Ilsa isi form ini dulu ya baru nanti kalau ada yang mau diceritakan, silahkan saja" Jelas dr. Rina lembut seperti seorang psikolog lainnya sambil menyodorkan kertas berisi formulir yang perlu diisi. Tidak lupa senyuman hangat yang terus dipancarkannya untuk meyakinkan pasiennya bisa nyaman untuk bercerita.

Setelah mengisi, Ilsa menyerahkan formulir itu ke dr. Rina lagi. Anta sedari tadi hanya diam mengamati istrinya yang serius mengisi formulir. Anta sempat curi pandang isi formulir itu yang berisi pertanyaan tentang diri Ilsa dan kondisi Ilsa saat ini.

Is HurtTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang