CHAPTER 01

1.3K 142 20
                                    

Setelah sekian tahun lamanya Sujin dapat menikmati apa itu kehidupan, di tengah-tengah ini semua Sujin merasa hidup. Hiruk-pikuk pesta, gaun-gaun cantik, dekorasi kemewahan serta pria dengan jas-jas rapih ini begitu terasa baru untuknya. Kedatangannya di Gwangjeo menjadi hal yang menyenangkan, karena untuk pertama kalinya sejak bertahun-tahun lalu, ini membangkitkan rindunya pada kota yang telah lama Sujin tinggalkan. Sujin berkesempatan ikut setelah memaksa kakaknya membeli dua tiket pesawat, itu perdebatan yang alot tetapi bagusnya Sujin berhasil meluluhkan Yoon Jimin. Setelah sekian lama terkurung di plosok pedesaan, Sujin kembali merasakan rasanya berada di dalam pesawat untuk terbang menuju Gwangjeo.

Jimin membesarkannya di Jeju dan mereka terlalu menarik diri dari kehidupan perkotaan, sebenarnya hidup di Jeju tidak seburuk itu, hanya saja terkadang Sujin merasakan kemonotonan. Dan Gwangjeo adalah kota impiannya, ia bisa melihat gedung-gedung tinggi yang tidak dijumpainya di desa, semua yang ada di kota ini kelihatan canggih dan maju. Ini adalah hari paling indah dalam hidupnya karena Gwangjeo begitu mengagumkan, Sujin tidak percaya ia sedang berada di sini.

Di Jeju, Jimin punya berhektar-hektar tanah. Selama sepuluh tahun saudara laki-lakinya itu hidup dengan mengelola perkebunan serta peternakan. Mereka telah lama hidup sebagai yatim piatu, kemiskinan pernah membelit mereka, tetapi Jimin hidup bagai seorang pahlawan karena membebaskan mereka dari kemiskinan. Pria itu berumur 38 tahun sekarang, dan tiga bulan yang lalu usia Sujin genap 20 tahun. Di Jeju, mereka hidup bersama.

Mereka tiba di Gwangjeo pada pukul 12 siang tadi, lantas malamnya sesuai yang telah direncanakan mereka menghadiri sebuah undangan. Pemilik acara ini adalah salah satu distributor yang bekerjasama dari hasil perkebunan Jimin, jadi jangan heran kalau Jimin turut diundang di acara ini. Jimin adalah orang yang tertutup, jika acara ini bukan atas dasar sebuah penghormatan dan formalitas, Jimin tidak akan menghadirinya. Rencana awalnya, Jimin akan terbang sendiri ke Gwangjeo untuk menghadiri undangan, tetapi Sujin begitu keras kepala memaksa ikut, karena ia sangat ingin melihat kehidupan di luar Jeju. Sujin begitu senang sewaktu Jimin mengizinkannya ikut, untuk itulah ia merasa sangat beruntung hari ini.

"Kau masih terlalu kecil untuk minum itu, Dear." Saat Sujin hampir saja bisa meneguk segelas wine yang ia ambil dari meja, Jimin datang tepat waktu lantas mengambil gelas cantik itu dari tangannya.

"Kak..." Sujin mendesah, karena lagi dan lagi Jimin selalu bersikap berlebihan. Karena telah membesarkan Sujin, saudara lelakinya ini selalu menganggapnya gadis kecil.

"Not today." Final Jimin sambil meneguk wine yang Jimin rebut dari adik perempuannya.

"Aku sudah 20 tahun, ayolah." Sujin begitu penasaran oleh rasanya minuman berakohol, Jimin begitu ketat mengawasinya sampai hal apa pun itu harus membutuhkan izin dari Jimin. Saudara laki-lakinya itu, memang bersikap lagaknya seorang ayah.

"Kapan aku bisa minum alkohol? Aku belum mencicipinya bahkan di umurku yang ke 20 tahun." Sujin mendesah sambil menatap penuh permohonan pada Jimin.

"Nanti setelah umurmu 30 tahun."

"Oh shit!" Sujin memutar bola matanya malas sambil melipat tangan di depan dada, oke Sujin lelah membujuk Jimin.

"Oh, astaga. Dari mana kau belajar mengumpat?" Jimin meliriknya dengan curiga.

"Apa aku juga butuh izin dari Kakak untuk mengumpat?"

Jimin tertawa sejenak, lantas ia mengusap puncak kepala adiknya. "Jadi anak manis hari ini, ingat di sini sangat ramai, jangan sampai kau lepas dari pandanganku."

"Ya ampun, Kak. Aku bukan anak lima tahun selain itu..." Sujin cemberut menurunkan tangan Jimin dari puncak kepalanya. "Jangan sentuh aku di sini, aku kelihatan seperti anak kecil."

NEMESISTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang