CHAPTER 19

834 139 28
                                    

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.


Mustahil kalau semua ini cuma kebetulan, semakin dalam Jimin memikirkannya, maka semakin pula ia berpikir semua ini adalah takdir.

Takdir untuk Saehan mengetahui kebenaran tentang adiknya. Tuhan mempertemukan mereka bukan tanpa alasan, dan Jimin yakin itulah maksud Tuhan padanya.

Untuk beberapa hari Saehan tidak berkunjung ke rumahnya, Jimin telah menerenungkan semuanya, menghabiskan banyak waktu sendirian di dalam ruang kerja dengan penuh nama-nama dua kakak beradik itu—Kang Saehan dan Kang Seori. Jimin membongkar barang-barang lamanya untuk mencari kalung milik adik Saehan—Kang Seori yang selama ini ia simpan, syukurnya benda itu masih tersimpan rapih di kotak perhiasan yang telah lama Jimin asingkan ke loteng.

Jimin berniat memberikanya pada Saehan dan menceritakan semuanya pada wanita itu. Dan juga... sepertinya Jimin mulai mencurigai jika Saehan mendekatinya pun bukan tanpa alasan.

Sore ini, setelah Jimin berkujung ke lahan perkebunan untuk memeriksa perkembangan pemberantasan hama bersama Dion, sepulang dari itu semua ia mendapati Saehan telah berkutat di dapur dengan sepotong daging wagyu di atas talenan, wanita itu nampak ceria dengan polesan merah muda di tulang pipinya, gincunya masih merona dan alisnya masih tergambar dengan apik. Jimin memperhatikan bagaimana wanita yang penuh riasan wajah itu menyambutnya dengan kalimat manis. "Hai, sayang.."

Dengan wajah tanpa ekspresi Jimin mendatangi Saehan, ia berdiri di dekat rak-rak pisau memperhatikan betapa liatnya Saehan mengolah daging wagyu. "Berencana membuat makan malam? Ohh, aku meragukannya." Sambil tertawa ringan, Jimin meraih pisau berukuran kecil tanpa sepengetahuan Saehan lantas menyelipkannya ke ban pinggang.

Sebentar Saehan meliriknya lalu wanita itu menyematkan senyum amikal. "Hampir tidak seburuk masakanmu," katanya.

Saehan memutar tubuhnya lagi untuk kembali fokus pada daging wagyu, tetapi setelah beberapa menit wanita itu diam Saehan kembali mengudarakan kalimat. "Bagaimana?"

"Soal apa?"

"Yang waktu itu, itu kelihatan menyenangkan bukan?"

Yang dimaksud Saehan pastilah perjudian di kota bawah tanah, entah kenapa Saehan selalu antusias setiap kali mengajaknya berjudi di sana.

Jimin mendekati Saehan yang masih memunggunginya, dengan gerakan hati-hati Jimin mulai meraih pisau yang tadi diselipkan pada bang pinggangnya. "Sangat menyenangkan, kira-kira aku harus mempertaruhkan apa? 200 miliar terdengar menggiurkan bukan?"

Tepat ketika Jimin menyinggung soal jumlah uang, Saehan berbalik secara tiba-tiba, wanita itu gesit, gerakannya sudah terlatih untuk menyerang. Saehan menyerbunya dengan pisau dapur, Jimin tak kalah tangkas ia menangkis setiap gerakan Saehan dengan pisau miliknya yang berukuran jauh lebih kecil.

"AKU TAU KAU SUDAH MENCURIGAIKU!" Saehan sudah membaca gerak-gerik Jimin yang tiba-tiba menyelipkan sebilah pisau pada ban pinggangnya—diam-diam ia mengintipnya.

NEMESISTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang