Jakarta, Januari 2019.
-
Sejak dua tahun lalu, aku berhenti mengitari atau bermain-main dalam negeri dongeng. Semua sudah kukemas rapi bersama takdir yang kuduga-duga dalam realitaku. Aku masih mengingat kala tanganku menggenggam erat boarding pass itu, di mana tertera tulisan: realita. Tujuanku.
Setahun aku membaui harumnya negeri khayalan, tanpa tau Tuhan tidak sedang duduk di kursi kerajaan. Tuhan sedang menulis skenario hidupku. Kadang aku berharap mesin printer itu rusak, supaya takdirku yang sesungguhnya bisa ditunda kelahirannya. Supaya aku masih bisa berbodoh ria di rumah itu tanpa tau apa-apa. Tapi tidak, tidak begitu cara Tuhan mencintaiku.
Aku tidak tau berapa baris atau paragraf yang Tuhan tuliskan di kertas tercetak itu untuk memisahkan mataku dari kebohongan. Yang pasti, sejak hari itu, kakiku tidak sehati-hati dulu lagi. Aku bebas menginjak beling-beling yang terpecah belah dengan jujur di atas jalanan asing.
Kurapatkan jaketku sekali lagi setelah menempati bangku di ruang bagian belakang busway yang terdapat pijakan tinggi di bawahnya. Lelah kakiku jika harus terus-terusan menggantung karena kakiku selalu saja tidak pernah sampai pada lantai bus.
Udara dingin menusuk kulit leherku yang tidak tertutup.
Saat memejamkan mata hendak membawa dingin itu dalam kantuk, sesuatu menyikut lenganku beberapa kali. Awalnya kupikir tidak sengaja, namun karena terus-menerus sontak aku membuka mata dan menoleh ke samping kiriku.
Seorang pria berkacamata, menyodorkan sebuah syal berwarna merah garis-garis.
Bola matanya yang semula terkunci pada mataku, beralih melirik sekilas pada syal di genggamannya sebelum kembali pada mataku lagi. Aku bisa menolak, seharusnya bisa. Entah karena memang tatapan itu menyihirku untuk menerima, atau memang karena dingin itu tidak lagi hanya menembus kulit leherku tapi juga sudah menggerayangi tenggorokanku.
Tanganku meraih syal itu, dan aku hanya sanggup mengucapkan kata terima kasih yang entah mengapa terasa begitu pelan saat keluar melalui bibirku.
Dia tersenyum, mengangguk.
Setelah itu, bersama kepala yang masih terasa berdenyut dan sedikit panas, aku kembali memejamkan mata sampai telingaku samar-samar mendengar suara yang menginformasikan halte tujuanku sudah dekat. Aku sontak membuka mata, dan terburu-buru bangkit dari tempat dudukku dan menyelinap di antara kerumunan penumpang busway untuk menggerakkan kaki keluar pintu busway.
Kedua kakiku sesekali berjinjit tak sabaran menunggu busway yang mengarah ke tujuanku, karena untuk menuju ke gedung kantor tempat aku bekerja, memang aku harus menaiki busway yang transit sekali untuk menaiki busway yang kutunggu saat ini.
Tak lama aku kembali merasa lega karena kondisi busway yang tak ramai membuatku tak sulit mendapatkan tempat duduk.
Pandanganku menyapu jalanan di luar kaca bus. Aku tersentak saat tanganku yang hendak menyentuh leher, meraba syal yang tengah melilit manis di sana.
Mampus, ini gimana gue balikinnya?
KAMU SEDANG MEMBACA
MARI TELANJANGI SEMUA LUKA
RomanceKita sama-sama lelah membungkus mata dengan langit senja dari negeri khayalan. Bibir kita sama-sama muak mencecap permen kapas yang telah basi. Aku, kamu. Mari kita telanjangi sakitnya. Sampai hati dan tubuh kita mampus.