Jakarta, Februari 2019.
-
Ada beberapa pertanyaan yang tidak pernah bisa kita jawab. Atau tidak berani kita jawab. Atau banyak lagi pertanyaan yang kita tidak tau. Pertanyaan-pertanyaan yang tak segera kutemukan sejak awal karena jalanku mungkin masih panjang untuk meraba apa-apa saja yang ada di hidup.
Termasuk pertanyaan ini:
Lebih baik sendirian atau ditemani?Di situasi mudah, yang tidak mempertaruhkan terlalu banyak perasaan seperti sekadar untuk makan atau pergi ke mall, kalau ingin ya ditemani kalau tidak ya sendiri cukup.
Tapi ketika pertanyaan dengan jawaban yang begitu juga tapi bentuknya berbeda bagaimana? Seperti, lebih baik menjalani hidup sendirian atau ditemani? Apa yang terjadi ketika sendirian dan ketika tidak? Apa yang dirasa ketika sendirian dan ketika tidak? Merasa sendirian ketika di tengah keramaian atau ketika memang sedang sendiri?
Kadang aku tidak mengerti, bagaimana satu baris kalimat pertanyaan bisa sampai menyiksa isi kepalaku untuk menjawab? Ini juga pertanyaan yang aku tidak tau jawabannya. Sedang pertanyaan tentang sendirian, alasan paling jujur dan masuk akal adalah aku tidak berani menjawabnya.
Sebelum aku bertemu dia di busway malam itu untuk pertama kali, dan untuk kedua kalinya malam ini aku memasrahkan tubuh di atas ranjangnya, aku tengah membelah tubuh di antara pertanyaan-pertanyaan itu. Bibirku sudah banyak membuat sumpah serapah di bibir banyak laki-laki lain untuk menciptakan morfin bagi rasa sakit itu. Daripada rindu dibalas rindu, aku membiarkan sakit dibalas dengan sakit.
Kubiarkan mereka menerjangku sampai puas. Sampai namanya menghilang dari ingatanku. Sampai bibirnya menghilang dari memori bibirku. Sampai tubuhku kebas ketika bertemu lagi dengan ingatan tentangnya.
Dan sampai entah sudah berapa puluh kali aku memasrahkan diri, setelah sakit itu reda, setelah bibir ini kembali lepas dan kosong, dia selalu kembali. Seperti tubuh yang dipaksa tenggelam dalam laut, dan kembali mengapung karena masih bernyawa dan bernapas bebas kembali setelah mencapai permukaan.
Seluas apapun aku membangun laut, sedalam apapun lautan itu, dia tidak hilang, tidak sepenuhnya tenggelam.
Di atas ranjang ini, aku memberanikan diri menjawab salah satu pertanyaan itu tanpa malu.
Aku lelah berusaha menenggelamkan Tirta dari ingatanku. Dan di tengah kelelahan itu, aku melihat lautan lain, dengan kedalaman dan ketenangan yang sama seperti miliknya. Aku memberanikan diri membiarkan tubuhku bersama ingatan tentangnya tenggelam dalam lautan yang merentangkan tangannya untuk memelukku.
Bersama Panji, aku hilang, tidak peduli lagi, membiarkan rinduku dicumbu selembut mungkin. Semua kejahatan ini terasa adil bagiku, dan aku masih memikirkan cara meminta maaf paling baik pada lelaki di hadapanku sekarang ketika sudah waktunya aku berhenti dan mengakui semuanya.
Untuk sekarang, aku akan tenggelam tanpa ampun. Aku mau. Dia mau. Itu cukup.
KAMU SEDANG MEMBACA
MARI TELANJANGI SEMUA LUKA
RomanceKita sama-sama lelah membungkus mata dengan langit senja dari negeri khayalan. Bibir kita sama-sama muak mencecap permen kapas yang telah basi. Aku, kamu. Mari kita telanjangi sakitnya. Sampai hati dan tubuh kita mampus.