Jakarta, Februari 2019.
-
"aku mau kita."
Perang itu sekarang bukan lagi dalam bentuk laki-laki yang menerima kalimatku barusan. Perang itu sekarang adalah semua yang ada dalam kepalaku.
Aku mungkin sudah salah mengambil senjata. Senjata yang berakhir di tanganku sekarang dan baru saja kulemparkan padanya, mungkin pada akhirnya akan berbalik padaku. Bagus. Aku sedang berada dalam Alijah versi tolol itu.
Panji tidak lantas menjawab. Lelaki itu hanya terus menatapku. Mungkin aku telah berhasil membuatnya susah payah menerjemahkan segalanya.
"kita yang bagaimana, Al?"
"yang kamu mau, yang aku mau."
Yang pasti bukan yang semesta mau. Semesta tau apa yang aku mau, dan yang aku mau itu sudah diludahi habis-habisan. Jadi sekarang aku akan menjadi Alijah dalam versis tolol ini untuk mengejek semesta. Aku akan membiarkan perang dalam kepalaku dihajar habis-habisan oleh kemarahan dan kerinduan yang sebelum ini kupikir sudah lama mati.
Untuk sesaat Panji berhenti mencoba menerjemahkanku, hanya menatapku. Lalu dia mengangguk. Dalam sorot matanya yang hangat dan setelah senyum tipis yang terukir di bibirnya, dia menjawab,
"kita mulai ya."
Selamat memulai versi tolol ini, Al.
KAMU SEDANG MEMBACA
MARI TELANJANGI SEMUA LUKA
RomanceKita sama-sama lelah membungkus mata dengan langit senja dari negeri khayalan. Bibir kita sama-sama muak mencecap permen kapas yang telah basi. Aku, kamu. Mari kita telanjangi sakitnya. Sampai hati dan tubuh kita mampus.