Jakarta, Januari 2015.
-
Sekali lagi, aku mempercayakan tanganku dalam genggamannya. Aku membiarkan dia membawaku masuk lebih jauh dalam dunianya.
Dunianya, di mana kedua kakiku menemaninya berdansa semalaman di depan bangunan kafe tadi, di hadapan mobilnya yang terparkir di sini, menuruti langkah kakinya yang bebas. Tanganku dan tangannya terayun menyambut angin, tubuh kami bergerak semaunya. Tatap dan sentuh kami selaras. Tak peduli sekian pasang mata dari balik kaca kafe yang mencemooh apa yang kami lakukan, tawaku dan tawanya seperti rumah berjendela satu yang menjadi incaran sekian pasang mata yang ingin tau kehidupan dalam rumah itu.
Di bawah rintik gerimis yang jatuh pelan-pelan, setelah memeriahkan perasaanku, dansa konyol itu perlahan melambatkan laju. Ritme perlahan turun, diiringi napas yang membaur melalui senyum lebarku dan dirinya. Kakiku beristirahat di hadapan kedua kakinya. Satu tanganku menyentuh tengkuknya, dan satu bersandar pada dadanya. Kedua tangannya erat menjagaku dalam jarak tak berarti itu.
Kami masih saling berdiam diri. Angin seakan menyalami ketenangan kami berdua.
Kali ini kakinya membawa kakiku dalam tarian yang pelan keluar dari tatapan mata yang entah sudah seberapa banyak. Aku tidak peduli. Dia tidak peduli.
Di jalan setapak ini, tanpa disaksikan satu pun pasang mata, bibirku menyambut pelukan bibirnya. Kupersilakan kedua tangannya mengucap salam pada tubuhku. Tirta memanjakan gairahku dengan lembut.
Sekali lagi, dalam ciuman panjang itu, dia seperti merakitku tumbuh menjadi guci yang indah. Rasanya setiap hancur dan luka lenyap, mungkin tenggelam di kedalaman yang tak kuhitung lagi. Dia membungkam semua itu dengan baik.
Aku tak ingin perbincangan malam itu berakhir. Dalam bibirku dia tak pernah kehabisan kata, dalam bibirnya aku tak pernah kehabisan ingin untuk menerima dan membalas.
KAMU SEDANG MEMBACA
MARI TELANJANGI SEMUA LUKA
RomanceKita sama-sama lelah membungkus mata dengan langit senja dari negeri khayalan. Bibir kita sama-sama muak mencecap permen kapas yang telah basi. Aku, kamu. Mari kita telanjangi sakitnya. Sampai hati dan tubuh kita mampus.