Jakarta, Februari 2019.
-
Panji melepaskan bibirnya dari bibirku.
"Al, pelan-pelan aja."
Kami berdua terengah-engah. Aku merasakan panas tidak lagi menggerayangi tubuhku, tapi juga mataku.
"Aku gak bisa."
Saat tangannya hendak terlepas dari melingkari pinggangku, aku menahannya.
"Bukan gak bisa melakukan ini,"
Pandanganku yang semula jatuh ke bawah, menaiki matanya sayu.
"Aku gak bisa pelan-pelan. Gak bisa."
Panji menatapku lekat."Kasarin aja."
Ada berbagai versi Alijah dalam kepalaku. Yang pernah membuatku nyaman dan jatuh cinta, yang sebelum ini kubuat pura-pura dalam merasakan semuanya. Keduanya tengah kuhantam dalam gulungan ombak supaya segera lenyap dari kepalaku.
Dan sekarang, aku terjebak dalam versi tolol ini. Versi Alijah yang rasanya seperti kombinasi kedua itu. Pura-pura tapi juga mencinta.
Tanganku sekuat tenaga menariknya jatuh. Aku sudah siap menghabisi isi kepalaku malam ini, di atas ranjang asing ini. Tidak peduli akan segelap apa aku harus meraba Alijah yang tidak kukenali. Rasa butuh itu memenangi ketidakwarasanku.
Dia, yang sekarang berbaring di atasku dalam batas yang tidak kupahami, seperti perang, dan aku tidak tau senjata mana yang tepat untuk memeranginya.
"Al,"
Kupaksakan mataku terpejam. Jika mataku sampai tenggelam dalam matanya, aku mungkin akan semakin buta untuk menemukan senjata yang tepat. Aku harus menang.
"Lihat mataku, Al."
Bodoh! Bodoh kamu, Al!
Sedetik kecup lembutnya seperti ketukan bagi mataku untuk terbebas dari gelap.
Sial sudah. Mata itu melelapkan semuanya.
Seketika aku merasa sakit dan sembuh di ruang dan waktu yang sama.
KAMU SEDANG MEMBACA
MARI TELANJANGI SEMUA LUKA
RomanceKita sama-sama lelah membungkus mata dengan langit senja dari negeri khayalan. Bibir kita sama-sama muak mencecap permen kapas yang telah basi. Aku, kamu. Mari kita telanjangi sakitnya. Sampai hati dan tubuh kita mampus.