AKU CINTA

10 1 0
                                    

Jakarta, Mei 2019.

-

Ini hari Minggu lainnya yang kuhabiskan dengannya. Minggu pagi, selalu semanis ini di sini. Berbalut kaus kebesaran, aku membiarkan kepalaku bersandar pada dadanya, sedang punggungnya semakin lekat dengan ranjang empuk ini. Mataku dan matanya sama-sama menyaksikan ketenangan pagi melalui jendela kamarnya yang terbuka. Sebuah pertunjukkan pagi yang realistis tanpa harga.

Dengannya aku suka. Tidak ada yang mencantumkan harga. Baik rumah ini, segelas teh hangat yang ia seduh, bahkan waktu yang kami habiskan di atas ranjangnya.

Dia tidak pernah bertanya setiap ketukan pintu yang kudatangkan di malam-malam ketika tak ada janji yang mempertemukan kami. Tadinya kupikir semua terasa murah dan mudah, dan aku yang murahan ini lapar untuk melahap segala tanpa harga itu. Tapi tidak. Ini tidak murah.

Aku tidak pernah tau sesuatu tanpa harga seperti semua yang dia tawarkan akan sangat kuinginkan seperti ini.

Jemarinya terus bermain di atas kepalaku, menyibak helai rambutku dari menghalangi mataku bertemu matanya.

Bagaimana tatapan seseorang bisa terasa sejuk seperti ini? Membuat angin cemburu.

"aku cinta, Al."

Aku semakin ingin merebahkan diri lebih dalam. Tapi mendengar keinginan itu, isi kepalaku jadi berperang hebat dengan hati. Sebagian penduduk hati belum rela melepas Tirta, sebagian penduduk lainnya sudah muak mencecap luka itu. Dan sebagian lainnya yang entah berapa jumlahnya memekik bahagia mendengar kalimat cinta itu.

"aku cinta," suaranya kembali membelai lembut telingaku.

Kalimat cinta itu terasa megah kudengar. Rasanya bukan hanya bibirnya yang membisikkan kalimat itu pelan, bahkan sentuhannya, ranjang ini, semua benda-benda bisu di kamar ini juga melahirkan amin atas ucapannya.

Tidak melalui Tirta, tapi Reyan pun pernah membisikkan frasa itu. Tidak hanya pernah, tapi setiap malam, setiap sebelum dan setelah kami bercinta di atas ranjang itu. Aku pernah berpikir dia sangat kaya dan memiliki entah berapa pabrik kata cinta. Tidak pernah habis. Tidak pernah habis untuk membuatku merasa.

Aku tau Reyan tau.

Sebelum akhirnya lelaki itu berselingkuh nyata, aku sudah terlebih dulu berselingkuh dalam pikiranku. Setiap kata-kata cinta yang Reyan berikan, selalu kuterjemahkan dalam kepalaku sebagai suara Tirta. Aku tidak bisa membuat tubuhku merasakan sentuhan Reyan sebagai sentuhan Tirta karena terlalu jauh. Tirta tidak pernah menyentuhku dengan cara yang Reyan lakukan. Tapi aku bisa membayangkan kalimat cinta itu, karena aku tidak pernah tau bagaimana Tirta mengucapkannya. Maka aku merangkai ilusi teruntuk kalimat itu.

Aku menjadi pelaku, mencabik ego Reyan karena mempermalukan lelaki itu dalam kekalahannya untuk memenangkan isi kepalaku. Dia yang kemudian membalas dan perlahan berhenti menafkahiku dengan kalimat cintanya, agar aku kesusahan mempertahankan Tirta dalam kepalaku.

Dan sekarang aku merasa seperti narapidana yang sedang melakukan dosa baru tapi berbungkus senyum. Dosa yang lebih besar itu, membuatku membayangkan sentuhan, dan kalimat cinta yang ditawarkan oleh lelaki di hadapanku tanpa harga ini, sebagai kepulangan Tirta dalam kepalaku.

Hatiku tau aku cinta, tapi isi kepalaku sudah terlalu jauh melakukan kejahatan ini sampai aku tidak tau tempat mana lagi yang mau menampung dosaku karena rasanya penjara pun sudah enggan dan muak.

MARI TELANJANGI SEMUA LUKATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang