MARI TELANJANG SAJA

105 1 0
                                    

Jakarta, Mei 2019.

-

Tadinya aku takut. Takut bahwa aku terlalu angkuh, terlalu arogan, merasa sudah sembuh sampai berani menarik lelaki itu dari lukanya.

Ternyata lukanya diam-diam menanggalkan sakitku, membawa semua luka yang kupunya untuk berlarian bersamanya. Aku dibuat berani untuk menyapa semua rangkuman rasa yang selama ini menjelma pilar kokoh di hatiku. Melihat Panji bersinar dalam sakitnya di bawah sorot cahaya panggung itu, membantuku menyelesaikan kalimat perpisahan yang sebelumnya tidak pernah sanggup kuselesaikan. Sisa rasa cinta, sakit, dan sesal yang selama ini menjadi karat di hatiku, semua menjadi bayangan-bayangan mungil yang saling berdiri menopang tubuhku dari luar, ikut menyaksikan Panji menelanjangi sakitnya di atas panggung itu. Bukan sorot panggung yang memihak lelaki itu, tapi cahaya lelaki itu sendiri yang menguatkan tubuhku. Aku seperti kembali memiliki tubuhku lagi. Tanpa harus meminta bayangan-bayangan mungil itu untuk menopang tubuhku, aku disanggupkan kembali mempertemukan kakiku dengan panggung itu, kembali mempertemukan mataku dengan matanya. Dan pertemuan itu mengamini luka kami berdua yang kemudian berjalan menjauh, membuat perayaan sendiri, membiarkan aku dan lelaki di hadapanku jatuh dalam peluk paling ringan dan lekat.

Aku ingin menjadi manusia telanjang yang jatuh cinta, yang memulai dari permukaan lagi. Aku ingin pelan-pelan menyelami cinta seperti orang bodoh lagi. Bersama dia, aku ingin menjatuhkan diri dalam bibirnya yang memeluk bibirku dengan hangat seperti saat ini, untuk esok, dan seterusnya.

Mari kita telanjang, Ji, sampai hati dan tubuh kita dimampuskan cinta paling dalam melalui malam-malam yang tersisa. Mari membersihkan sayap-sayap kita dari debu yang lalu agar bisa terbang menyambut segala rasa lagi.

Aku bersedia, kamu bersedia, Tuhan menyanggupi, dan itu cukup.

MARI TELANJANGI SEMUA LUKATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang