Jakarta, November 2015.
-
Sore semakin jauh, semakin dikejar malam, tapi aku dan dia semakin lambat berjalan. Tidak ada satu pun tiket kepulangan di genggaman kami yang menyatakan aku dan dia setelah ini akan pulang menemui rumah masing-masing. Tapi kami sama-sama tau dan melihat, tujuan kami sudah dipatahkan persimpangan. Takdir bahkan membisikkan berkali-kali di telinga kami berdua, mungkin takut aku atau dia pura-pura tidak mendengar.
"lo bisa cinta sama dia?"
Aku menawar keterlambatan pada takdir, entah takdir mengamini atau malah murka, tapi pertanyaan lelaki di sampingku menghentikan kakiku dari terus berjalan. Hanya tinggal sekian meter untuk sampai di halte yang sudah melambaikan tangan tak sabar pada kami, tak sabar untuk merayakan perpisahan kami. Mungkin halte itu benci karena sepertinya aku dan Tirta memutuskan untuk melakukan perpisahan jauh dari pandangan halte itu.
"emang semua perlu cinta ya, Ta?"
Cinta itu, berapa harganya?
Aku dan dia, dalam hubungan ini, tidak pernah sekalipun mengucap cinta di atas bibir kami. Tak pernah ada yang memaksa kami mencari tau. Rasanya satu kata terlalu pelit untuk menggambarkan aku dan dia. Mungkin karena itu takdir murka. Mungkin karena kami terlalu sombong, merasa sudah cukup kaya hingga tak pernah menuangkan satu kata tak perlu itu untuk menjelaskan aku dan dia.
Lantas kalau aku dan dia mengucap cinta sekarang juga, lantas kemagisan kata itu akan bekerja seperti sihir? Seperti apa yang para pecinta bilang? Seperti yang digambarkan tokoh-tokoh dongeng dan seketika hidupku dengan dia berakhir bahagia selamanya?
Tidak bukan?
Cinta malah tampak semakin murah. Semakin tidak ada artinya.
"kalau tanpa cinta, bisa bertahan, Ya?"
Aku benci perjalanan setiap pagiku menuju kantor, meninggalkan halte untuk memasrahkan langkah di atas jalanan. Tapi benci itu terus kusanggupi dan perjalanan itu selalu terjadi. Setiap pagi. Dilewati kendaraan tak terhitung, dilewati angin tak terukur, aku tetap berakhir di gedung pencakar langit itu. Mantra yang kurapal selalu sama,
Jalan saja. Tanpa perasaan. Dan tanpa sadar kamu telah sampai.
Perpisahan ini. Aku benci perpisahan ini. Tapi benci ini kusanggupi karena perpisahan ini harus terjadi.
Dan untuk menyanggupinya, kurapal mantra itu. Tanpa pikir, tanpa pamit, aku melangkah. Dan tanpa sadar aku telah sampai di halte yang semringah menyambut kedatanganku. Lelaki itu tidak langsung menyusul, atau bahkan berlari. Dari kejauhan, aku mempelajari perpisahan kami. Dari kejauhan, aku melihat dia berusaha untuk membacaku, sampai kami kembali berdiri berhadapan di halte ini.
"bisa, Ya?"
Matanya bergerak gelisah, terus mencari dalam mataku. Dia seakan dipaksa menyelami lautan yang tidak dia kenal, dalam takut, dan sekarang mencari-cari perahu yang pernah membawanya.
"tanpa perasaan, bisa, Ya?"
Dia tidak tau, kalau perahu itu juga sedang sama tersesatnya, sedang sama terombang-ambing mempelajari palung laut di hadapannya.
"pakai perasaan kayak kita sekarang, malah bikin susah kan, Ta?"
Angin, jalanan, setiap kendaraan yang pernah berkali-kali melewati aku dan dia, mungkin sudah muak melihat perpisahanku dan dia yang tak juga selesai. Aku dan dia terlalu rumit untuk melayangkan kalimat selamat tinggal di udara.
Semesta yang sudah muak seakan mempercepat kedatangan busway yang kutunggu. Sebelum dia selesai membaca, sebelum dia menjawab karena sudah tidak diperbolehkan lagi, dan sebelum aku menerima jawaban karena sudah tidak perlu lagi.
Bersama segaris senyum, aku membiarkan angin, jalanan, dan lautan kendaraan membawaku melesat di jalanan.
Untuk satu perjalanan ini, perjalanan terakhir untuk mengenangnya sebagai nama yang gugur, aku membiarkan dia dan namanya mengepakkan sayap di luar kaca busway, menari-nari sebentar, sebelum kumakamkan di tempat-tempat yang pernah menerima kedatangan kami. Dan upacara selamat tinggal akan kurayakan dengan pantas saat dia sudah benar-benar rela meninggalkan kepalaku, dan aku sudah benar-benar rela melepas dia.
KAMU SEDANG MEMBACA
MARI TELANJANGI SEMUA LUKA
RomansaKita sama-sama lelah membungkus mata dengan langit senja dari negeri khayalan. Bibir kita sama-sama muak mencecap permen kapas yang telah basi. Aku, kamu. Mari kita telanjangi sakitnya. Sampai hati dan tubuh kita mampus.