Jakarta, November 2015.
-
"sejak kapan lo ngerokok?"
Aku memperhatikan Tirta yang baru saja menyelipkan batang rokok di bibirnya. Tangannya yang sudah memegang pemantik, terhenti sejenak. Dia lalu membakar rokoknya.
"sejak nikah."
Dia tidak benci asap rokok, tapi selama aku mengenalnya dia tidak pernah tertarik menyentuh benda itu. Bukan hanya untuk menghormatiku yang memang tidak suka asap rokok. Dia lebih memilih meneguk beer kalengan. Satu kaleng untuk sesekali menemani kebersamaan kami. Terkadang aku menemaninya ke minimarket terdekat, lalu kita menghabiskan malam di kamar hotel ini dan memenuhi kamar dengan tawa lepas kami, atau, bercinta di ranjang itu.
"kenapa?"
Aku belum puas. Harusnya aku sudah tidak perlu tau lagi tentang hidupnya setelah malam pernikahannya. Harusnya aku sudah berpisah dengan kamar ini. Tidak, aku tidak sedang mencoba peran lain sebagai wanita murahan di film lain untuk tetap berada di hidupnya. Aku baru saja berencana untuk mendepak sisa-sisa dia dari kepalaku dan meninggalkannya di kamar ini, sebelum tau kalau dia juga sedang di sini, dan sekarang tengah menghisap rokok di balkon kecil kamar ini.
Matanya tidak banyak menyapa mataku. Dia lebih banyak menelan pemandangan malam di luar balkon.
"kenapa ke sini, Ya?"
Aku benci mendengar bibirnya masih memanggil namaku dengan cara yang sama. Orang bilang benci dan rindu beda tipis. Mungkin begini maksudnya.
"kalau lo boleh nanya gitu, berarti gue juga boleh nanya kenapa lo di sini."
"lo tiga hari lagi nikah."
"dan lo udah nikah."
Aku sengaja memberi penekanan pada kata itu.
Sekarang matanya menatapku lekat-lekat. Butuh beberapa detik baginya untuk membacaku. Aku sudah berusaha memasang perisai di hadapan mataku, dan tetap saja dia terus membaca.
"lo tadi nanya kenapa sekarang gue ngerokok?" Dia kembali menyesap batang rokoknya. Asap kembali menguar dari bibirnya.
"untuk menghapus lo, Ya."
Aku tertegun. Pandanganku jatuh pada kotak rokok yang sudah kosong, yang tergeletak di atas meja kecil di sampingnya. Mataku berpindah pada sisa-sisa puntung rokok di atas asbak di sebelah kotak itu.
"jadi kita yang kemarin itu seharga satu kotak rokok? Bukan seharga kamar hotel ini? Lebih murah ya ternyata.."
Tangannya yang baru saja meraih kotak rokok itu untuk membuangnya ke keranjang sampah, melempar kembali kotak itu ke atas meja. Kedua tangannya berpindah pada railing balkon di belakangku, mengurung tubuhku dalam ruang geraknya. Aku menahan napas untuk menghindari asap rokok yang terasa dekat di hidungku. Ia melepas rokok itu dari bibirnya, memalingkan wajah, lalu menghembuskan asap rokok di udara, berusaha tidak mengenai wajahku. Matanya kembali terpaku padaku setelahnya.
"kalimat lo mancing gue untuk berhenti ngerokok dan menjawab dengan cara lain, Ya."
Aku merampas rokok yang terselip di jarinya, lalu menyematkannya di antara bibirku sendiri. Detik berikutnya aku terbatuk-batuk setelah mencoba menghisap rokok itu. Tirta menarik rokok itu dari bibirku dan mematikannya di atas asbak.
"daripada membiarkan itu terjadi lo lebih milih ngisi paru-paru lo sama asap rokok padahal tau lo gak kuat?"
Setelah batukku reda, aku kembali menatapnya.
"harusnya gue atau lo gak ada yang balik ke kamar ini lagi. Gue pergi."
Aku mendorong pelan dadanya selagi dia lengah, melangkah ke ruang kamar. Dia mengejarku, menarikku dalam dekapannya tepat ketika kakiku sampai di hadapan ranjang itu.
"gue yang salah udah nyerah, Ya."
Di hadapan ranjang itu, mataku menyaksikan kenangan yang seakan menumpuk di atasnya, kedua tangannya merengkuh erat tubuhku. Aku merasakan bibirnya gemetar ketika lama mengecup puncak kepalaku. Aku dan dia mungkin sedang sama menatap nanar ranjang di hadapan kami, tau kalau ranjang itu sudah bukan milik kami lagi. Memang tidak pernah milik kami.
"gak ada yang salah, Ta. Semua orangtua pasti akan milih yang terbaik untuk anaknya. Jangan salahin nyokap bokap lo karena gak milih gue. Seumur hidup gue gak pernah dipilih siapa-siapa. Lo pernah milih gue, gue pernah bahagia karenanya, dan itu cukup."
Aku menyandarkan kepala dan punggungku sesaat di dadanya, dia membenamkan wajahnya di puncak kepalaku. Jemariku mengusap tangannya yang semakin erat memelukku.
Untuk yang terakhir, Ta. Untuk yang terakhir.
KAMU SEDANG MEMBACA
MARI TELANJANGI SEMUA LUKA
RomanceKita sama-sama lelah membungkus mata dengan langit senja dari negeri khayalan. Bibir kita sama-sama muak mencecap permen kapas yang telah basi. Aku, kamu. Mari kita telanjangi sakitnya. Sampai hati dan tubuh kita mampus.