Jakarta, Maret 2019.
-
Mungkin satu, mungkin dua, dari sekian perjalanan pulangku, kadang aku berpikir, apa jadinya jika dunia ini gelap? Apa semua orang sanggup meraba jalan? Untuk bertemu rumah, bertemu tujuan. Mungkin kehidupan hanya akan berjalan dari pagi hingga sore. Malam mungkin akan terasa amat membunuh.
Seperti apa jadinya Jakarta tanpa lampu-lampu itu? Kota ini mungkin tak akan lagi dibasahi oleh mata-mata yang penuh kagum menatapnya. Warna-warna sephia yang membuat malam menjadi temaram. Seluruh gedung pencakar langit yang saling menebar pesona lewat cahayanya masing-masing. Setiap lampu merah yang mengatur waktu kapan arus cahaya dari setiap kendaraan itu saling bertemu dan berhenti beradu, dan seterusnya melewati lampu hijau untuk kembali menciptakan pesta kerlap-kerlip di jalanan.
Seperti setiap halte bus yang kulewati.
Entah ada yang bertamu atau kursi kosong, cahaya kuning itu setia berpendar. Terkadang aku ingin asal berhenti di halte yang tak kukenali untuk duduk sendirian di halte itu menikmati pertunjukkan lampu di jalanan yang melintas melewatiku dengan lambat atau terburu-buru.
Bukan untuk mencari tujuan baru, hanya untuk menyaksikan estetika malam yang disuguhkan kota ini pada mataku.
Tugas bulan untuk menerangi ruang ruas di kota ini mungkin sudah diatur oleh Tuhan. Lampu merah dan hijau yang berdiri tegak di setiap perempatan jalan pun sudah diperintahkan dan tak akan mungkin lupa melakukan tugasnya. Hujan cahaya yang lahir dari lautan kendaraan benderang di jalan pun akan selalu mengisi jalanan kota ini, meski terkadang mereka mangkir dan menciptakan sepi bagi jalanan ini, setidaknya satu dua atau tiga akan berlalu untuk mengenang keramaian di jalanan kota ini. Lampu jalanan yang berbaris rapi, juga punya pengingatnya sendiri, tak akan lupa mematuhi kota ini agar tak dimarahi.
Tapi dia, yang sekarang duduk tepat di sampingku, di dalam bus ini, tak ada yang mengingatkannya untuk benderang, pun memerintahnya tak ada yang sanggup. Aku sempat melihat bola mata itu gelap gulita, dan rasanya seperti melihat kota ini mati dalam matanya. Aku bisa bertaruh keramaian di masa lalu yang mengisi mata perempuan itu. Sudah kusaksikan setelah malam itu, setelah dia memberanikan diri untuk memulai. Matanya perlahan berpendar terang dalam cahaya yang tak bisa kusamakan dengan satupun cahaya yang pernah kulihat menampakkan diri di kota ini.
Aku pikir kegelapan kota ini akan jadi hal paling menyeramkan yang kubayangkan jikalau terjadi. Nyatanya, kegelapan dalam matanya malam itu jauh lebih menyiksaku.
Meski Jakarta mati, semua akan tetap benderang. Jakarta tampak hidup dalam matanya.
Al, akan kusanggupi apapun yang kupunya untuk menjaga matamu tetap menyala. Kota ini mungkin sedang mengejek lelaki bodoh sepertiku karena berani membuat sumpah lain setelah kematianku bertahun-tahun lamanya. Aku tak peduli.
Untuk sekarang aku tak mau peduli.
KAMU SEDANG MEMBACA
MARI TELANJANGI SEMUA LUKA
RomanceKita sama-sama lelah membungkus mata dengan langit senja dari negeri khayalan. Bibir kita sama-sama muak mencecap permen kapas yang telah basi. Aku, kamu. Mari kita telanjangi sakitnya. Sampai hati dan tubuh kita mampus.