Jakarta, Januari 2019.
-
"cukup sampai di sini."
Itu bukan kalimat yang dia keluarkan untuk memutus hubungan kami. Bukan.
Itu janjinya setahun lalu, untuk berhenti dan kembali ke ranjang tempat aku setiap malam menghabiskan waktu dengan tubuh yang kunamakan sebagai dirinya.
Malam itu bibirnya sangat merah. Di keningnya sudah bertabur bulir keringat yang terus muncul di sana. Dadanya naik turun tak karuan bersamaan dengan napasnya yang kali itu tak menyentuh wajahku. Fantasiku untuk merebahkan diri di atas tubuhnya yang tak terbalut apapun itu, mengabur begitu saja.
Dalam balutan mantel, aku berdiri diam di hadapannya tanpa berkata apa-apa. Rasanya aku akan jadi wanita murahan jika aku meminta jatah sepenuhnya ketika dia baru saja memberikannya pada perempuan lain. Perempuan itu tengah terbaring membelakangi kami di atas tempat tidurku, tempat tidur kami, dengan tubuh yang terbungkus selimut. Selimut itu rasanya tak mampu menghalangi pandanganku dari melihat belasan menit sebelum aku dan lelaki di hadapanku ini berhadapan. Tak ada sehelai benang pun yang menutupi tubuh itu. Aku yakin.
Kadang aku berharap, dalam lelapnya malam itu, perempuan itu bisa melihat dalam mimpi sedikit kilasan bagaimana sebelum kehadirannya di kamar itu, aku dan lelaki di hadapanku itu bercinta, yang kuharapkan, lebih hebat dari yang telah perempuan itu rasakan.
Melalui matanya aku tau setelah itu lelaki di hadapanku itu akan mendekatiku dan entah berkata apa, dan sebelum itu terjadi aku melangkahkan kaki meninggalkan rumahku, rumah kami. Meski aku ingin sekali menyingkap selimut itu untuk melihat seberapa banyak tanda yang sudah lelaki itu berikan. Apakah lebih banyak dari yang telah ia berikan padaku, atau mendekati pun tidak.
Tumit sepatuku menginjak lantai sebuah kamar, malam ini, setahun setelah malam itu.
Aku butuh rasa sakit yang lebih ganas.
"cukup sampai di sini."
"aku janji." Lanjutnya.
"aku janji. Cukup sampai di sini." ia terus meyakinkan.
Lama aku menatap matanya.
"kamu gak lelah ngasih hal yang sama dua kali?"
Dia diam.
"dulu kamu mungkin gak secapek ini. Di kamar yang sama, hari yang sama. Cuma beda waktu, beda perempuan. Sekarang, di kamar yang beda. Hari yang beda. Gak capek?"
Tubuhku terbaring di atas tempat tidur yang asing ini. Mataku terpejam rapat saat sengatan demi sengatan menyentuh leherku, dan merambat pada bagian lain pada tubuhku.
Sakit.
"harus sakit."
Itu kata-kata yang selalu meluncur dari bibirku sebelum kubiarkan bibir ini dihantam oleh laki-laki manapun yang kupersilakan untuk menerjangku.
Terjangan yang selalu kuharap jauh lebih dalam dari yang lelaki itu lakukan pada perempuan itu.
Aku benci rasa sakit. Dusta jika kukatakan tidak.
Tapi sejak aku memulai petualangan sakit ini, entah bagaimana, aku menikmati rasa sakit itu.
Bukan sakit yang lelaki itu torehkan dalam dadaku.
Tapi rasa sakit yang asing, yang sejak setelah malam itu terus kunikmati.

KAMU SEDANG MEMBACA
MARI TELANJANGI SEMUA LUKA
RomansaKita sama-sama lelah membungkus mata dengan langit senja dari negeri khayalan. Bibir kita sama-sama muak mencecap permen kapas yang telah basi. Aku, kamu. Mari kita telanjangi sakitnya. Sampai hati dan tubuh kita mampus.