"AKU MAU KITA."

34 2 0
                                    

Jakarta, Februari 2019.

-

Sudah sekitar 20 menit kami menjadi orang asing.

Pandangannya masih setia menyentuh kaca bus di sebelah kanannya, dan aku yang dijeda tiga bangku dan tengah sama menatap kaca di sebelah kiriku. Bukan pemandangan yang kulihat, tapi samar-samar pantulan dirinya di kaca yang beradu dengan wujud jalanan di luar sana.

Kita di perjalanan yang sama, dan entah berakhir di tujuan yang mana. Rasanya aku dan dia tidak berjalan. Rasanya kami tengah duduk diam menyaksikan pertunjukkan angin dan lampu-lampu kota yang saling berlari tanpa peduli. Rasanya kami adalah lelucon gagal yang ditertawakan dengan terpaksa oleh hujan yang membasahi satu-satunya ruang yang mempersempit luasnya rindu setelah pagi yang sudah lalu itu.

Harusnya aku dan dia pemeran utamanya.

Di tangan kami berdua tergenggam naskah setengah jalan. Aku harus memilih antara menjadi laki-laki bodoh yang menyimpan naskah itu sendirian, atau memberanikan bibirku menorehkan baris-baris berani untuk menghidupkan cerita kami yang menggantung dan mungkin saja sebentar lagi berkabut.

Sebelum aku dan dia tidak bisa lagi melihat akhirnya, dan putusnya cerita itu menjadi kiamat kecil bagi hati kami berdua, aku..

"aku mau."

Di tengah derasnya hujan yang baru saja tersihir menjadi rintik-rintik kecil, aku menyaksikan pantulan perempuan itu yang kali ini lebih jelas mengisi kaca. Matanya belum berpindah pada apapun selain apa yang dilihatnya di luar kaca itu, tapi kalimat itu dia beranikan berhadapan dengan telingaku.

Aku yang lebih dulu memindahkan mata padanya.

Tinggalkan semua yang tidak kamu kenal di luar kaca itu, Al. Aku ingin tatapan kamu untuk tau kalimat barusan harus aku terjemahkan bagaimana.

Sebelum aku meminta, dia sudah berbalik, menjadi bahasa asing yang tak bisa benar-benar kubaca.

"aku mau kita."

MARI TELANJANGI SEMUA LUKATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang