Jakarta, April 2014.
-
Pagi ke sore, esok ke esok, lalu dan kemudian, sepanjang jalanan yang membangun kota Jakarta ini tidak pernah kulepas. Mataku tidak bosan berteman dengan kaca bus itu. Kaca itu membebaskanku menonton kehidupan yang tidak kumiliki. Aku bisa tau banyak, meski tidak semua. Aku bisa melihat senyum dan kebahagiaan di luar sana, meski tak tau mana yang palsu, mana yang bukan.
Bertahun-tahun hidupku hanya diisi oleh rasa marah, dari pagi ke sore, esok ke esok, lalu dan kemudian. Aku menodai ruang-ruang dalam hidupku yang harusnya kuisi dengan tawa bodoh seperti perempuan lainnya di luar sana.
Aku kehilangan rasa percaya pada cinta, menganggapnya sebagai kotak hadiah termahal dengan isi serpihan sampah. Bukan aku yang membuka kotak hadiah itu. Perempuan yang berjuang mati-matian untuk mengajakku menapaki dunia, yang berdiri paling depan di garis satu darah denganku. Dia salah satu yang membuka kotak hadiah itu. Dan isinya adalah sumpah serapah untuk setiap tahun-tahun yang dia lewati bersamaku, dan bersama laki-laki yang menghadiahinya kotak itu. Macam-macam bentuk dan isi dari setiap kotak yang pernah ku tau.
Perempuan lain yang pernah bertepuk tangan atas keberhasilanku menapaki dunia, yang masih sedarah denganku, dan yang sering membelikanku boneka-boneka yang sekarang menumpuk entah di mana, juga menerima kotak hadiah itu. Isinya berbeda. Isinya ternyata cukup tajam, cukup menyakitkan, dan lama bertahan. Dia membuka kotak hadiah dengan isi lebam dan memar. Lebam dan memar itu terus menjadi hadiah bagi perempuan itu, dan perempuan itu tidak menolak. Katanya, itu bukan hanya hadiah. Katanya itu adalah janji yang sayangnya sedikit kotor. Dan baginya janji yang sedikit kotor itu harus dipertahankan.
Lalu perempuan lain yang juga kukenal baik, menerima kotak hadiah jenis lainnya. Cantik sekali bentuknya. Tapi senyum kagum pada cantik kotak itu hilang secepat dia membuka kotak itu. Kotak hadiah dengan isi kosong. Sebuah janji kosong, yang mengantar malam-malam perempuan itu pada kesendirian di atas ranjang. Sedang lelaki yang pernah memberinya kotak itu, selalu menghabiskan malam-malam itu dengan berada di ranjang lain bersama perempuan lain.
Aku jadi percaya, bahwa semua kotak hadiah itu, yang kutau dan tidak kutau, tak ada yang menyenangkan. Semua berbentuk indah, dan semua diisi dengan kekecewaan.
Kotak hadiah yang pernah dipegang oleh perempuan bernama ibu, yang jauh sebelum aku mengenal dunia adalah perempuan paling berani yang mengajakku menapaki dunia dalam pertaruhan nyawa, tiga bulan lalu dibawa tidur bersama ibu kembali ke tanah. Bahkan sampai kematiannya, dia tetap setia memeluk kotak itu.
"hari ini lumayan sepi ya di luar sana?"
Suara seorang laki-laki mengacaukan sendu yang hendak berenang-renang dalam mataku. Aku menoleh, mendapati senyum laki-laki yang berdiri di sampingku, menghadap lurus kaca bus. Saat ini aku sedang berdiri bersandar pada pembatas ruang depan pintu busway dengan barisan kursi paling belakang. Mataku kembali pada kaca bus.
"iya."
"sesepi itu pun lo tetap menikmati."
Ketika itu mataku berpindah pada pantulan laki-laki itu di kaca bus. Dia masih dengan senyumnya.
"gue gak pernah lihat lo pegang ponsel selama di dalam bus. Mata lo selalu setia sama perjalanan di luar kaca itu."
Kali ini mataku langsung tertuju pada matanya. Keningku berkerut. Laki-laki itu tersenyum tipis, paham aku tidak mengerti maksud perkataannya.
"ini udah yang," kalimatnya menggantung sesaat sementara raut wajahnya tampak berpikir, "entah keberapa kali kita di satu bus yang sama."
"dan lo sadar?"
Matanya kembali menghadap kaca bus.
"hari pertama. Lo berdiri di samping gue. Bus lumayan ramai waktu itu. Baru sebentar gue menikmati perjalanan di luar kaca sejak gue masuk bus, mata gue pindah ke pantulan lo di kaca. Terus gue noleh, dan lo lagi khusyuk banget ngelihat ke kaca. Jauh lebih khusyuk dari gue malah kayaknya. Berasa kalah estetik gue."
Aku tertawa. Tawa yang lepas. Barisan gigiku menunjukkan diri dengan sukacita. Pertama kali, setelah kematian ibu.
"makasih ya."
Alisnya bertaut.
"makasih karena lo menang estetik?"
Aku tertawa lagi.
"makasih karena gue jadi tau masih ada sisa-sisa tawa di gue. Kirain udah habis."
Dia memandangku lekat.
"emang udah berapa lama Alijah di hadapan gue sekarang berhenti tertawa?"
Aku kembali tertawa mendengar namaku disebutnya dengan ejaan yang tidak tepat. Dia sadar mataku selalu setia menghadap kaca bus setiap kami satu bus, kuasumsikan dia juga menyadari tanda pengenal yang menggantung di depan dadaku, entah dia sadari di pertemuan yang keberapa.
"A-lai-yah."
"oh, gitu ya cara ejanya? A-lai-yah?"
Aku tersenyum, lalu mengangguk. Dia ikut mengangguk-angguk.
"jadi udah berapa lama?"
Pertanyaan itu membuat mataku kembali menghadiri jalanan yang bergerak cepat di luar kaca. Hari semakin sore, kulihat langit semakin gelap.
"sejak kematian ibu tiga bulan lalu. Atau mungkin sejak jauh sebelum itu. Gue juga gak inget."
Terkadang kamu terjebak di satu momen di mana kamu bertemu orang paling asing di hidupmu, dan semua yang berkecamuk dalam pikiran justru meminta keluar untuk bertemu dengan orang itu. Momen itu menjadi meja tempat kamu menumpahkan gelas demi gelas perasaanmu dan dia yang bersedia membayar gelas itu mendengarkanmu dengan baik.
Dia menatapku lekat, masih dengan senyumnya yang sejak pertama menyapa mataku sudah menenangkan.
"Ya, besok naik bus jam berapa?"
"kenapa?"
"pilih pas jam macet aja, Ya."
"kenapa?"
Aku terbelah antara bertanya, dan menikmati caranya memanggilku. Aku suka caranya memanggilku.
"biar setengah kita pakai untuk menikmati pemandangan di luar kaca, setengahnya untuk ngobrol. Gue mau ngobrol lebih banyak sama lo, tanpa ganggu rutinitas kita mantengin kaca bus."
Senyumku kembali mengembang. Lebih lebar dari sebelumnya.
Mungkin tidak hanya satu meja, mungkin tidak hanya beberapa gelas. Mungkin akan ada momen lain dengan lebih dari satu meja bersama beberapa gelas lain di atasnya.
KAMU SEDANG MEMBACA
MARI TELANJANGI SEMUA LUKA
RomanceKita sama-sama lelah membungkus mata dengan langit senja dari negeri khayalan. Bibir kita sama-sama muak mencecap permen kapas yang telah basi. Aku, kamu. Mari kita telanjangi sakitnya. Sampai hati dan tubuh kita mampus.