Jakarta, Mei 2019.
-
Di luar kaca jendela, tidak ada suara hujan ataupun angin yang memberantaki sunyi di kamar ini. Tapi semua terasa ramai di kepalaku, dan mungkin di kepalanya juga.
Jemariku masih menari di atas kepalanya, sesekali menyapa pipinya yang sedikit merona. Bukan segelas wine memabukkan penyebabnya. Bukan juga demam menyusul sehabis menerjang hujan kemarin sore. Sesekali juga berhenti pada bibirnya yang bersemu merah. Seperti malam-malam sebelum ini, mataku tidak pernah berpindah ke mana-mana. Aku membiarkan diriku tenggelam dalam kaca rembulan di balik matanya. Mata itu sama sunyinya dengan kami sekarang.
"aku siapa, Al?"
Bibirku yang semula menggantungkan ribuan kalimat di balik sana, tidak tau mana yang ingin dilepas, akhirnya memilih untuk bertanya. Ketika pertanyaan itu lahir, keramaian di kepalaku seperti berhenti dan berterima kasih padaku karena kalimat itu yang akhirnya kulepas.
"di matamu, di kepalamu, di bibirmu, di seluruh tempat dalam diri kamu yang selama ini menerima kedatanganku," kalimat itu terasa menguras sisa napasku.
Rembulan perlahan pergi dari matanya, sisa-sisa awan yang tergenang di sana juga perlahan lenyap. Sekarang mata itu hanya serupa kaca bening yang memperlihatkan jelas semuanya.
"siapa yang kamu lihat, Al?"
Manusia selalu begitu. Asal bertanya, asal lahir saja isi kepala. Aku bertanya tanpa bertanya dulu pada diriku sendiri apa aku siap dengan jawabannya atau tidak.
"kenapa baru bertanya sekarang, Ji?"
Punggungnya tampak meminta untuk terus tenggelam di atas ranjang ini, dan punggungku masih berusaha hadir sejelas mungkin di balik tatapannya. Jika dia tidak bisa melihat, mungkin setidaknya tembok kamar ini bisa membisikkan kehadiranku di telinganya.
Lantas kenapa kamu bertanya, Ji?
Alijah kembali memeluk bibirku. Hanya sebentar. Hanya untuk membawaku lebih dekat padanya. Dia seperti obat yang sekali sentuh akan habis dalam satu hembusan napas yang terpatah-patah sehabis kecup itu. Dan tubuhku rasanya sakau untuk terus meminta hangatnya.
Kalau terus sakau begini, kenapa terus bertanya, Ji?
KAMU SEDANG MEMBACA
MARI TELANJANGI SEMUA LUKA
RomanceKita sama-sama lelah membungkus mata dengan langit senja dari negeri khayalan. Bibir kita sama-sama muak mencecap permen kapas yang telah basi. Aku, kamu. Mari kita telanjangi sakitnya. Sampai hati dan tubuh kita mampus.