SELAMAT TERSESAT DALAM LAMPU-LAMPU KOTA DAN GAK MAMPU GUE TEMUKAN LAGI, YA.

34 1 0
                                    

Jakarta, Mei 2015.

-

"gue belum selesai, Ya."

Perempuan itu menatapku, sebentar. Terlalu sebentar untuk menyambut seluruh kata-kataku. Aku tidak sanggup memaksa matanya yang sudah terlalu malam itu untuk terjaga menerjemahkan kata-kataku yang tidak sedikit. Malam ini aku tersesat. Bukan dalam matanya seperti malam-malam sebelum ini. Aku tersesat dalam kata-kataku sendiri, seketika menjadi terlalu tolol dan pengecut untuk meraba kata-kata yang tepat sebelum mengantarkan pada telinganya. Dan kalimat terpilih itu membuatnya beranjak dari tempat tidur.

Aku seperti melihat takdir menjelma sebagai kaca yang membatasi kamar mandi dengan ranjang tempat aku masih membaringkan tubuh. Meski aku sanggup bangkit, meski telingaku samar-samar mendengar tangisnya dari balik suara air mengalir dari shower kamar mandi, kakiku dihadang takdir. Tidak, takdir itu tidak hanya menjelma sebagai kaca kamar mandi itu. Takdir telah menjelma sebagai tanggal pernikahanku yang tinggal hitungan minggu, sebagai Gretha, sebagai tulang-tulang dalam kakiku yang seperti musuh di balik kulit dan menolak berfungsi, sebagai bibirku yang lancang menyuarakan kalimat payah itu, sebagai aku yang sekarang masih terus berbaring di atas ranjang ini.

Setelah dia pergi, tanpa menunggu pengakuan dari siapa-siapa, pun dari takdir, ranjang ini menjadi tempat paling sepi dan asing. Aku merasa seperti aktor yang baru saja menyelesaikan sebuah adegan, berpisah dengan lawan mainku, memantau adegan melalui monitor, lalu melihat seberapa gagalnya aku telah melakoni adegan itu. Dan Tuhan lalu memecatku dari memainkan kelanjutan cerita ini.

Setelah tulang-tulang kakiku berkhianat, tulang punggungku yang kemudian memberanikan diri membawa tubuhku meninggalkan ranjang, untuk menyanggupi mataku bertemu matanya. Dia berdiri di depan pintu kamar mandi, sudah menjadi Alijah yang selama ini mengisi hari-hariku. Dalam balutan kaus kebesaran, celana jeans pendek, rambut yang masih tampak basah, dan tas yang tersampir pada bahunya. Terlalu siap untuk merayakan perpisahan.

Tidak, dia bahkan tidak mau menghadiri perpisahan yang digelar takdir. Perpisahan yang setidaknya akan layak dengan segelas kata-kata darinya dan tatapan mata kami secukupnya, dia telantarkan dan Alijah menjauhkan punggungnya dari pandanganku secepat mungkin sampai kemudian menghilang dari balik pintu kamar ini.

Gue belum selesai menjawab semuanya, Ya.

Bibir ini akhirnya sembuh dari bisu.

Ini perpisahan, Ya?

Aku mengutuk keterlambatanku.

Semua harus selesai tapi gue gak mau selesai, Ya.

Sekarang kedua kakiku mau membawa langkahku bertemu lantai kamar yang dingin. Entah untuk apa. Menghampiri takdir? Bersujud di hadapannya seakan setelah itu takdir mau mengembalikan Alijah ke kamar ini agar aku bisa menumpahkan kalimat-kalimat lain yang terlambat kusampaikan padanya?

Cih.

Aku tersenyum kecut.

Ya, perkataan si pengecut ini cuma bisa nendang-nendang bibirnya aja. Gak diizinkan takdir. Si pengecut cuma sanggup menatap mata kamu yang sembab dan mengutuk dirinya karena dia penyebabnya.

Mungkin saat ini Alijah sudah semakin jauh dari kamar ini, bahkan mungkin sudah membaur bersama keasingan kota ini yang terlalu pelik untuk kuajak tersesat bersamaku agar aku bisa tetap memiliki perempuan itu.

Selamat tersesat dalam lampu-lampu kota dan gak mampu gue temukan lagi, Ya.

MARI TELANJANGI SEMUA LUKATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang