MEMBIASAKAN DIRI MERASA

25 1 0
                                    

Jakarta, November 2015.

-

Rumah lain. Kamar lain. Ranjang lain. Mataku menyapa seisi ruang kamar tempat aku berdiri, sesaat setelah melepas sepasang anting yang sejam lalu berkilau manis menggantung di kedua telingaku. Lalu mataku jatuh pada pantulan sosok perempuan yang mengisi cermin di hadapanku.

Perempuan dalam balutan gaun pengantin itu bertemu mata denganku.

Rumah ini, kamar ini, ranjang empuk bertabur kelopak mawar di belakangku, dan perempuan yang sedang kutatap sekarang, adalah aku yang baru. Alijah yang ini masih saja terasa asing. Perempuan itu masih sesekali sungkan untuk mengambil alih tubuhku ketika waktunya aku menjadi dia. Bahkan untuk mengambil alih bibirku membentuk senyum ke arah lain di cermin, di mana lelaki yang baru memasuki kamar dan juga masih dalam balutan kemejanya berjalan mendekatiku.

Aku harus mulai terbiasa. Membiasakan diri menjadi Alijah yang ini.

Kedua tangannya melingkari pinggangku. Aku membiasakan diri berada dalam kebebasannya. Bibirnya bermain di tengkuk leherku, menenggelamkan cumbuannya di sana. Mataku terpejam, membiasakan diri untuk merasa.

Perlahan gaunku dipaksa pergi meninggalkan tubuhku, setelah dia menanggalkan kemejanya, yang kemudian hanya menyisakan cincin pernikahan yang melingkari jari kami masing-masing.

Sebelum bibirku menyambut salam pembuka darinya, bibirnya sudah terlebih dahulu menerpa bibirku dengan ratusan halaman yang tak bisa kubaca jelas. Aku membiasakan diri untuk pura-pura buta huruf, untuk tidak bingung dengan apa yang sedang dia bicarakan dalam sentuhannya.

Ketika punggungku menghantam ranjang ini, di tengah keterasingan ini, aku membaui segala hal yang samar. Tidak ada bau hujan, tidak ada kemeja yang lecak, tidak ada sepasang tatap milik masa lalu, tidak ada perjalanan malam yang dulu setia mengusap setiap helai diriku dengan lembut. Aku membiasakan diri dibawa terjun bebas dan terburu-buru menemui daratan, dibawa kembali menaiki puncak, dibawa terjun lagi, dan terus mengulangnya sampai aku terbiasa. Sampai aku memahami alur miliknya.

"kalau dari omongan pasangan nikah lain sih, gak langsung on the way malam pertama ya. Kebanyakan sih udah capek duluan. Yang langsung ngebet malam pertama ya ada sih, di film roman picisan. Gue aja mana ada langsung road trip di ranjang. Terlalu K.O untuk malam pertama."

Mungkin pernikahanku ini memang sebuah film roman picisan yang dibilang Dina, sahabatku yang sudah terlebih dulu menikah itu.

Yang aku tau, lelaki yang sedang membawaku terjun bebas di atas ranjang ini tak ingin menjadikan malam pertama kami seperti apa yang dikatakan Dina. Sejak awal, sentuhan Reyan selalu di bawah judul "kamu milikku", setidaknya itu yang kurasa.

Dan malam ini, mungkin judulnya sedikit lebih panjang, mungkin menjadi "kamu milikku sepenuhnya sekarang." Judul itu kurasakan melalui sentuhannya malam ini. Setiap perhentiannya selalu berakhir dengan sambutanku yang juga masih terasa asing, bahkan setelah sebanyak tanda yang dia sematkan di tubuhku.

Aku membaca gairah yang berbicara, tapi tidak merasa. Aku belum terbiasa untuk merasa. Dan harus terbiasa.

MARI TELANJANGI SEMUA LUKATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang