AKU YANG MEMBUNUHNYA

15 1 0
                                    

Jakarta, Agustus 2012.

-

Malam ini mimpiku akan diriuhkan oleh semua orang, di atas panggung ini. Panggung yang cukup besar untuk menghadiri layar televisi setiap rumah, dan akan jadi panggung pertama yang akan merangkul erat mimpiku seterusnya.

"rame, Ji! Pecah ini sih!" dapat kudengar seruan Aldo dari sebelah kanan. Dia masih terus mengintip dari balik tirai, menyaksikan entah berapa banyak orang yang sudah memenuhi aula besar depan panggung itu. Setelah perjalanan jauh menghampiri berbagai bentuk panggung, berbagai jumlah penonton, akhirnya panggung bernama ini menerima kedatangan kami sepenuhnya. Bukan sebagai penampil sampingan, bukan juga sebagai penampil yang terkadang tidak berhasil tampil karena masalah koneksi dan durasi, tapi sebagai penampil satu-satunya di panggung satu-satunya.

Dan disaksikan satu-satunya penonton yang sudah menyaksikanku sejak aku masih sekadar iseng menulis lirik-lirik lagu di kamar sempitku. Gian adalah inspirasi terbesarku dalam bermusik. Perempuan yang selalu berdiri paling depan dan sesekali berjingkrakan menyerukan namaku ketika aku dan rekan sepanggungku masih belum menjadi siapa-siapa. Bayangan perempuan itu yang sedang berdiri menunggu kehadiranku di panggung saat ini saja sudah menarik setiap sudut bibirku.

Ketika kuminta untuk menemani persiapanku di backstage dan mengambil area depan panggung yang nyaman untuk menyaksikan penampilanku nanti, Gian menolak. Katanya, dia ingin menjadi seperti penonton lainnya, benar-benar menikmati konserku dalam keseruan sesungguhnya di tengah lautan orang-orang itu.

"lima menit lagi!"

Semua lagu, semua nada, semua lahir karena dia hadir. Aku tidak akan pernah menulis lagu jika bukan karenanya. Aku tidak akan pernah berbicara banyak di atas panggung melalui nada-nada itu jika bukan karenanya.

Tanpa Gian, aku tidak akan pernah ada di atas panggung.

Mataku segera mencari keberadaannya sesaat setelah langkahku berhenti di tengah panggung. Dia ada di sana, dengan senyum yang sama, di tengah lautan penonton lain yang tak sabar.

"aku dengar, Ji!"

Lagu mengalun dalam suara yang kulepas bebas bersama iringan musik yang menghentak kuat panggung ini. Aku tidak bisa mendengar suara tipisnya yang berusaha menyamai kekuatan suaraku seperti di setiap panggung-panggung kecil sebelum ini. Tak apa, aku sedang membayangkan suaranya dalam kepalaku, ikut bernyanyi bersamaku.

Pertunjukan di lagu pertama berakhir meriah, seruan penonton yang seperti satu tubuh itu membuatku kesulitan mencari perempuan itu. Telinga sudah kutajamkan sedemikian rupa dan tetap aku tidak menerima suaranya. Mataku menyapu barisan tempat dia tadi berada sebelum lagu pertama dimulai, dan dia tetap tidak ada. Aku hanya melihat beberapa penonton tampak membuat ruang kecil, berusaha melawan arus keramaian lain yang berusaha menghapus ruang itu. Aku mendaratkan jari telunjuk di bibir, mencoba meredakan keriuhan.

Kali ini seruan dari ruang kecil itu berhasil sampai pada telingaku.

Setelah seruan kencangku yang meminta semua orang berhenti, suara orang-orang dalam ruang kecil itu yang terus menyerukan kata tolong, langkahku yang kesetanan meninggalkan panggung, dan dengungan mic yang terjatuh terdengar memekik, panggung itu menjadi landasan tempat benda-benda langit jatuh berserakan di atasnya, termasuk hatiku yang sudah jatuh terpecah belah.

Panggung pertamaku diakhiri dengan tubuhnya yang tenggelam dalam pelukanku. Tidak ada suaranya, tidak ada senyumnya. Hanya mata terpejam dan bibir pucat itu yang sejak malam itu tidak pernah lagi menyanyikan lagu-laguku. Aku pun tidak pernah berkenalan dengan panggung itu lagi seberapa besar pun panggung itu menginginkan keberadaanku. Aku terus memaki semua orang yang tanpa sadar menenggelamkan tubuh kecilnya malam itu. Salah, salah. Mimpi brengsek ini yang salah.

Aku yang sudah membunuhnya, dan panggung itu hanya diam menyaksikan.

Aku yang membunuhnya.

MARI TELANJANGI SEMUA LUKATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang