Jakarta, Desember 2014.
-
Lelah setelah perjalanan dua jam menuju hotel kubawa ke atas tempat tidur empuk ini. Baju pergiku bahkan masih menempel di tubuhku. Malas, satu hal yang menahanku untuk beranjak ke kamar mandi untuk membasuh tubuh.
"heh, ganti baju dulu lah."
Laki-laki yang baru saja keluar dari kamar mandi itu menatapku dengan wajah masam.
Bukannya bangkit dari tempat tidur, aku malah berguling ke samping, dan mengambil satu bantal untuk kupeluk setelah hampir terantuk tiang sandaran tempat tidur.
Tak lama tanganku ditariknya, "mandi dulu gih sana. Bau lo."
Aku melotot, tapi akhirnya menurut juga dan beranjak masuk kamar mandi untuk membersihkan badan. Puas rasanya sebenarnya memasrahkan tubuh yang, benar mungkin, memang sudah bau ini di bawah guyuran air mengalir dari shower.
Saat selesai, seprai tempat tidur itu sudah tidak lagi lecak sehabis menjadi korban kemalasanku tadi. Bantal yang sempat kulempar ke arahnya tadi dan entah berakhir mendarat di mana, sekarang tengah menjadi sandaran bagi punggung lelaki yang tengah mengutak-atik ponselnya itu. Aku menjatuhkan tubuh di sampingnya, kali ini tidak rebahan seperti tadi.
"capek deh, Ta."
"lo gak mau nanya kenapa bisa cuma satu tempat tidur gini?"
Mataku yang tadinya terpejam, kini menatapnya. Benar juga, harusnya aku marah-marah padanya. Seminggu sebelum perjalanan ini, kami sudah memesan kamar di hotel ini dengan memastikan itu adalah kamar dengan dua tempat tidur. Saat lelaki itu berbicara dengan orang resepsionisnya tadi, aku sudah tau kalau ada kesalahan sistem, hingga kamar yang terpesan adalah kamar dengan satu tempat tidur. Aku yang malas bahas.
"biarinlah. Lagian juga lo gak bakal ngapa-ngapain gue."
Dia menaikkan alisnya, "kesannya gue bukan laki-laki normal."
"lo aja yang asumsinya aneh." Aku berguling membelakanginya sambil tetap menatap layar ponsel, kembali memberantaki seprai, tak mengacuhkan dia yang berdecak kesal. Detik berikutnya aku memekik terkejut.
"kenapa sih lo?" tanyanya kaget sekaligus heran, sedang aku masih membekap mulut.
Aku kembali berguling menghadapnya. Senyumku masih mengembang tak karuan.
"sahabat gue bakalan nikah."
Pandanganku jatuh pada template undangan yang terpampang cantik di halaman web yang kubuka. Terdapat foto pra-nikah sahabatku dan calon suaminya, ringkasan cerita kisah perjalanan mereka berdua, serta keterangan tentang kapan dan di mana pernikahan itu akan dilaksanakan.
"bilang, selamat dari gue."
Aku hanya mengangguk-angguk saja.
Suasana kembali hening. Samar-samar suara pendingin ruangan mengisi kamar ini.
"sakit gak sih?"
Sebenarnya pertanyaan ini hanya berenang di dalam kepalaku saja, tapi tanpa sengaja bibirku ikut bekerja untuk melahirkannya dalam suara yang pelan.
"apanya?"
"malam pertama."
Lelaki itu tampak berpikir, sebelum akhirnya menjawab, "tergantung si pasangan prianya. Kalau pelan-pelan, mungkin sakitnya gak terlalu dirasa."
Aku kembali mengangguk-angguk, mataku sejak tadi tidak lepas dari undangan itu. Dari sudut mataku, aku tau lelaki ini terlalu pintar untuk tidak membacaku.
"lo penasaran?"
Aku mendengus. Penasaran?
Laki-laki di sampingku ini, tau sangat jauh tentangku. Aku bisa berakhir tidur seranjang dengan lelaki ini, jika bukan karena dia sangat mengenalku, mungkin situasi sekarang tidak akan terjadi. Rasa cemas bahkan tidak menggelutiku sama sekali. Dia laki-laki baik, normal, dan aku tidak tau bagaimana mengkategorikan dirinya. Aku tidak merasa dia sahabatku, tapi dia tau banyak tentangku. Temanku yang sekadar bertukar sapa dan berjumpa hanya saat ada acara pun, juga bukan.
"lo pernah sejauh apa?" mataku akhirnya meninggalkan layar ponsel.
Tanpa berusaha mencari matanya, tatapanku langsung jatuh dalam matanya. Dia sedang menatapku lekat, entah sejak kalimat yang mana.
"semua," dia menjawabnya dengan ringan, tanpa memberi kesan bahwa obrolan ini adalah rute yang kubuat agar kami berakhir sebagai pasangan yang memesan kamar hotel untuk tujuan utama di ranjang.
"rasanya gimana?"
Kali ini aku merasa benaran terkesan jadi perempuan murahan yang sedang menggiringnya untuk menyambut umpan. Secepat kilat aku lanjut mengibaskan tangan di udara.
Aku tidak ingin dia menjawab apapun. Entah satu kalimat, dua kalimat, yang justru dia ganti dengan satu gerakan pelan untuk membuat bibirnya bertemu dengan bibirku. Tanpa izin, namun juga tanpa paksaan. Bibirnya memeluk pelan bibirku, seperti mengajak bicara, tapi tidak ada kata yang keluar. Dan seakan pembicaraan itu mengalir begitu saja, aku yang tak pernah tau caranya berbicara ini menyambut baik kata per kata. Menerima, membalas, menerima.
Pertemuan kata yang sunyi itu berhenti, berganti jadi mata kami yang saling beristirahat dalam satu garis pandangan.
Jemarinya tidak berhenti menyusuri helai rambutku. Pelan dan lembut, seakan aku adalah guci yang utuh dan dijaga agar tidak serta merta pecah begitu saja. Bukan, harusnya aku bukanlah guci itu. Aku justru adalah pecahan-pecahan guci yang tak ingin ditemukan, karena tak ada yang sanggup membuang waktu merekatkannya. Jika pun menari-nari di atas pecahan itu, meski tanpa terluka, tak akan ada yang mau.
Sebelum dia bertanya, aku sudah bertanya terlebih dahulu.
"gue boleh mempermalukan diri gue di hadapan lo, Ta?"
Tidak ada keraguan dalam tatapannya. Aku bahkan terlalu takut untuk membaca semuanya. Jemarinya sekarang menari di atas wajahku.
"gak akan ada yang menghakimi, Ya."
Kalimat itu dia ucapkan selembut mungkin.
"Kalau lo penasaran, gue bisa kasih lo jawabannya. Kalau segini cukup, gue berhenti."
Pecahan guci yang tidak tau malu itu, sekarang dengan lancangnya meminta lelaki di hadapannya ini untuk merekatkannya.
Bisikannya yang lembut di telingaku menemani mataku yang terpejam takut.
Entah takut bertemu dengan rasa sakit yang tak pernah kujamah itu, atau karena malam itu aku mengkhianati diri yang berjanji tidak akan membuka tubuh di hadapan lelaki manapun. Dan lelaki di hadapanku, mematahkan janji itu begitu saja.
Lagi-lagi, tanpa paksaan.
KAMU SEDANG MEMBACA
MARI TELANJANGI SEMUA LUKA
RomanceKita sama-sama lelah membungkus mata dengan langit senja dari negeri khayalan. Bibir kita sama-sama muak mencecap permen kapas yang telah basi. Aku, kamu. Mari kita telanjangi sakitnya. Sampai hati dan tubuh kita mampus.