Jakarta, Februari 2019.
-
Sejak lima menit lalu, atau mungkin sejak semalam, perang di kepalaku tidak juga selesai.
Mataku menatap kekosongan. Rasanya sesuatu yang sudah kubunuh berkali-kali sejak semalam, kembali bernapas dengan baik dalam kepalaku.
Dulu kalau aku merasa seperti ini, rasanya sangat hidup. Seperti ada yang menemaniku berdetak.
Sekarang, tubuhku yang berbaring telentang di atas ranjang yang sama seperti semalam, di mana aku membiarkan dia kembali bernapas dalam kepalaku, terasa penuh rindu yang tak kuinginkan. Aku seperti bersalaman dengan rasa yang paling kukenali, tapi dihantarkan oleh orang lain. Asing, sakit, nikmat, semua bagai racun lama yang kembali menyengat tubuhku.
"kamu takut ya, Al?"
Entah sejak kapan laki-laki di sampingku terjaga.
Aku bukan sedang berada di kamar hotel itu. Ruangan ini tidak mencantumkan harga apapun. Terlalu sempit untuk menampung semuanya dan aku semakin sulit memberi judul untuk ruang kamar ini.
Aku ingin laki-laki itu berhenti menerjemahkan aku.
Kuturunkan satu persatu kakiku dari atas ranjang, membawa tubuh menjauhi singgasana empuk itu. Bahkan tidak kubiarkan mataku berpamitan dengannya barang sedetik. Dia mungkin akan kembali menerjemahkanku dengan lebih gamblang lagi.
Kuraih mantelku yang tersampir berantakan dari atas kursi.
Semuanya baru terasa saat telapak kakiku sepenuhnya menapaki kenyataan di kamar ini. Tubuhku tidak goyah seperti ratusan pagi yang sebelum ini kulewati.
Seluruh rencana untuk bergegas meraih kenop pintu dan meninggalkan kamar ini, seketika lenyap dalam kepalaku. Entah berapa lama aku berdiri mematung menatap pintu kamar.
"kalau semuanya serba terburu-buru dilakukan, kamu gak akan tau gimana rasanya."
Suara Panji terasa lancang menyapa telingaku. Tanganku terkepal. Aku berbalik dan menatap nyalang dia.
"aku, gak mau tau gimana rasanya."
Entah tubuhku yang terlalu kosong, atau dia yang terlalu penuh untuk akhirnya mengembalikan tubuhku ke atas ranjang.
Lenganku yang tertahan di balik genggamannya meronta ingin bebas.
"tarik napas, Al. Pelan-pelan. Jangan biarin semua saling bertabrakan dalam kepala kamu."
"kamu bukan terapis yang bisa bebas menilaiku, Ji."
Dia tidak memaksa. Genggamannya tidak menyakiti. Jemarinya bahkan terus dan pelan mengusap lenganku.
"Terima, Al. Rasakan."
Aku memejamkan mata. Tidak hanya nama di dasar kepalaku yang seperti belingsatan menaiki permukaan kepalaku setelah lama kupaksa tenggelam, satu per satu rasa yang pernah aku terima dulu, juga seperti kembali bernapas.
Setiap napas dari rasa itu perlahan mulai menyentuh kepala, hati, hingga bibirku yang sekarang gemetar.
Aku membiarkannya menerjemahkanku sejauh mungkin, dan aku kembali mempermalukan diriku, dalam tangis tolol ini.
"bukan ini yang aku butuh."
"bukan ini yang kamu butuh atau kamu takut kalau ini yang kamu butuh?"
KAMU SEDANG MEMBACA
MARI TELANJANGI SEMUA LUKA
RomanceKita sama-sama lelah membungkus mata dengan langit senja dari negeri khayalan. Bibir kita sama-sama muak mencecap permen kapas yang telah basi. Aku, kamu. Mari kita telanjangi sakitnya. Sampai hati dan tubuh kita mampus.