Jakarta, Januari 2019.
-
Harusnya interaksi kami hanya sampai pada perpindahan syal tadi. Syal itu sudah memeluk manis lehernya, dan mata perempuan itu pun sudah terpejam rapat.
Tapi lenganku tidak tahan untuk kembali menyikutnya.
"mbak?"
Dia membuka mata, menoleh. Seakan tidak hanya tubuhnya yang sedari dingin lalu menghangat di balik syal itu. Matanya yang semula menampakkan bongkahan es runcing di dalam sana, tampak berganti musim. Mungkin hangat dari syal itu juga turut merambati matanya.
"penasaran. Cara eja nama kamu gimana?"
Dia mengerutkan kening, tapi tatapannya mengikuti arah daguku. Setelah selesai melirik tanda pengenal yang sedikit tersingkap dari balik syal itu, dia mengangguk paham.
"a-lai-yah."
A-lai-yah.
Kurapal kembali ejaan nama itu dalam bisu.
Gantian aku yang mengangguk-angguk paham.
"aku gak pakai tanda pengenal. Tapi namaku Panji."
Kalimat itu kulontarkan setelah mataku meninggalkan matanya. Dapat kurasakan keningnya kembali berkerut melalui ekor mataku. Saat tatapanku kembali bersandar pada matanya, kerut kening itu berganti senyum tipis yang hadir di bibirnya.
Matanya kembali terpejam. Mataku juga ikut terpejam.
KAMU SEDANG MEMBACA
MARI TELANJANGI SEMUA LUKA
RomanceKita sama-sama lelah membungkus mata dengan langit senja dari negeri khayalan. Bibir kita sama-sama muak mencecap permen kapas yang telah basi. Aku, kamu. Mari kita telanjangi sakitnya. Sampai hati dan tubuh kita mampus.