Jakarta, Januari 2015.
-
Sibuk sekali tanganku malam ini.
Berkutat dengan keyboard laptop, sesekali meraih cangkir teh untuk melembutkan kerongkongan, kembali pada keyboard, sesekali mengucek mata yang pegal, kembali lagi pada keyboard, begitu terus sampai jarum jam sudah melewati entah berapa putaran. Mataku juga sesekali mencuri pandang kehidupan di luar kaca kafe, tepat di hadapanku. Aku memilih spot tempat duduk terbaik untuk menyelesaikan pekerjaanku. Meja panjang yang tepat berhadapan dengan kaca kafe. Tepat berhadapan dengan kehidupan di luar sana.
"Ya,"
Suara laki-laki itu menghentikan seluruh aktivitas tangan dan mataku, yang semuanya beralih memusatkan perhatian padanya sekarang. Laki-laki itu bersandar pada dinding tepat di samping pintu masuk kafe. Kemeja putihnya tampak kusut dan sedikit basah. Kedua tangannya tenggelam dalam saku celananya. Aku baru ingin membasahi kering kerongkonganku dengan hangat dari teh, tapi sorot matanya sudah menelanjangi isi kepala dan seluruh lorong yang menuju jantungku dengan jauh lebih hangatnya.
Gerakan bodohku selanjutnya yang memutar mata dengan malas lalu menghembuskan napas panjang dan diakhiri dengan gelengan kepala, kulakukan untuk menghentikannya membacaku. Entah sudah seberapa jauh dia membaca.
"lo ke sini mau nontonin gue lagi jadi budak kantoran atau apa?"
Dia tertawa. Suara tawanya, raut wajahnya, yang semuanya hanya dia yang punya.
"lo mau ngerasain jadi pemeran utama di film gak?"
Aku memiringkan kepala, mengerutkan kening, menyipitkan mata, semua kombinasi umum dari gesture yang tanpa dia baca pun pasti paham aku sedang menatapnya aneh, dan setengah sebal.
"lo cukup jawab 'mau' atau 'enggak'."
"lo tuh sering banget ngasih gue pertanyaan jebakan."
"serius nih gue, Ya."
Kali ini dia berjalan mendekati mejaku. Tangannya bertumpu pada ujung meja, satu tangannya lagi berpegang pada sandaran kursiku. Dari jarak sedekat ini aku kembali dibuat nyata. Aku membaui hujan yang dia bawa dari luar, dan aroma tubuhnya yang selalu membuatku nyaman.
"film apa dulu?"
"matiin dulu laptop lo."
Aku mematikan laptopku dengan kerjaan yang baru setengah selesai tentunya. Dia mengambil alih laptopku tepat setelah aku memasukkannya ke dalam tas. Tanganku cepat menahan tangannya.
"lo gak lagi krisis duit, kan?" tanyaku sedikit curiga.
Dia menjitak kepalaku pelan, lalu ganti mengusap gemas puncak kepalaku.
"krisis sabar deh gue, Ya. Sini buruan."
Aku membiarkan laptopku berpindah tangan sepenuhnya dengan wajah masam. Dia bersama laptopku menghilang dari kafe ini detik berikutnya. Mataku mengikuti punggungnya yang menghampiri mobil, dan gerak-geriknya memindahkan laptopku ke dalam mobilnya. Melihatnya dari balik kaca kafe ini, seperti sedang menyaksikan pemeran utama pria di sebuah film, entah film apa. Film tanpa judul yang harusnya teramat membosankan itu ingin terus kunikmati di sela-sela sintingnya kesibukanku.
Sekarang sang pemeran utama pria itu telah keluar dari layar, berdiri dengan napas tersengal-sengal di hadapanku. Padahal hanya sekian langkah yang perlu dia tempuh untuk mondar-mandir antara parkiran dan bangunan kafe ini, tapi langkah pelan itu dia ganti dengan berlari.
Dia tersenyum.
"mulai."
Tirta menjentikkan jari, dan tanganku pasrah digenggamnya untuk seterusnya menjadi satu dengan langkahnya.
KAMU SEDANG MEMBACA
MARI TELANJANGI SEMUA LUKA
RomanceKita sama-sama lelah membungkus mata dengan langit senja dari negeri khayalan. Bibir kita sama-sama muak mencecap permen kapas yang telah basi. Aku, kamu. Mari kita telanjangi sakitnya. Sampai hati dan tubuh kita mampus.