Jakarta, Februari 2019.
-
Di balik pantulan sinar matahari yang menyentuh wajahnya melalui kaca jendela, dia terus menangis. Entah apa yang coba kubersihkan semalam darinya.
Genggamanku pada lengannya terus memudar, berganti menjadi sentuh yang lekat.
Pagi ini, aku lebih ingin membersihkan luka itu dari matanya. Aku mungkin telah salah sentuh, mungkin sudah terlalu jauh. Dibandingkan semalam, ketika hanya api yang mengudara dalam mata perempuan itu, pagi ini sesuatu yang lama tertidur tampak kembali terbangun di sana.
Dalam jarak yang tipis itu, Alijah terus menumpahkan semua dari matanya. Aku menuntunnya berdamai dengan sesuatu yang mungkin tidak memberikan tangannya semudah itu untuk disalami.
Pagi semakin terang.
Mata perempuan itu mulai beradaptasi dengan luka yang mungkin masih terus mengetuk paksa matanya. Aku terlalu banyak berbicara tentang kata mungkin. Terlalu banyak mungkin yang tak bisa kubedah satu-satu.
Aku bangkit dari jarak itu, membebaskannya, mengusap pelan pipinya serta jejak air mata yang menumpuk di sana. Dia menahan tanganku, menahanku dari mencoba membersihkan jejak itu. Kali ini ia benar-benar memisahkan tubuhnya dari ranjang. Hanya tersisa pandanganku yang mengikuti punggungnya melewati pintu kamar.
Pagi yang datang membawa luka, atau aku?
KAMU SEDANG MEMBACA
MARI TELANJANGI SEMUA LUKA
RomanceKita sama-sama lelah membungkus mata dengan langit senja dari negeri khayalan. Bibir kita sama-sama muak mencecap permen kapas yang telah basi. Aku, kamu. Mari kita telanjangi sakitnya. Sampai hati dan tubuh kita mampus.