Jakarta, Mei 2019.
-
"lu bercanda?"
Tujuh tahun. Aku pulang. Anjing kotor ini memberanikan diri mengusik lukanya. Kemeja, kaus kaki bersih, sepasang sepatu itu, semua setuju untuk membawaku masuk ke sana nanti malam.
Bukan pulang. Aku hanya ingin bertamu sebentar di rumah itu. Bertamu saja cukup.
"gua mau pamit, Do."
Aldo terdiam.
Cuma Aldo yang sanggup menyambangi rumah itu selama tujuh tahun ini. Menghadiri hari kematian perempuan itu setiap tahun. Terus bersalaman baik dengan rumah itu.
Dulu aku marah karena lelaki itu tidak memperlakukan makam perempuan itu dengan baik. Aku marah kehadirannya masih diterima baik rumah itu, sedang aku diludahi. Aku marah dia tetap membiarkan keramaian mengisi rumah itu, menginjak-injak jejak perempuan itu. Tapi setelahnya aku sadar. Aku sudah membunuh perempuan itu di rumahnya sendiri. Membunuh rumah itu mungkin akan jadi kesalahan lain. Maka gonggonganku yang semula memaki Aldo dari luar pintu, perlahan berhenti. Aku berhenti menjadi anjing tersesat yang kehilangan pemilik dan terantai masa lalu. Aku meninggalkan halaman rumah itu dan menjadi anjing liar yang berlarian di sepanjang jalan dalam busway, menjadi pendiam, kotor, tanpa suara.
"pamit dari masa lalu."
Aku belum pernah mengeluarkan sepatah kata pun untuk mengantar kepergiannya. Kupikir sia-sia. Dia tidak bisa lagi mendengar, lantas untuk apa aku berbicara?
Tapi dengan rumah itu, setidaknya aku bisa. Setidaknya rumah itu mendengar. Setidaknya rumah yang pernah jadi saksi paling murka menyaksikan pembunuhan malam itu, mungkin mau memaafkan dan menyampaikan kata-kataku padanya lewat sambungan telepon rahasia.
"lu sanggup?"
"sanggup."
"baru bisa jam 11 malam nanti, lu oke?"
"oke."
Akan kusanggupkan.
KAMU SEDANG MEMBACA
MARI TELANJANGI SEMUA LUKA
RomanceKita sama-sama lelah membungkus mata dengan langit senja dari negeri khayalan. Bibir kita sama-sama muak mencecap permen kapas yang telah basi. Aku, kamu. Mari kita telanjangi sakitnya. Sampai hati dan tubuh kita mampus.