Jakarta, Mei 2019.
-
Napasku tercekat. Mataku berkilat menatap panggung kosong itu. Untuk sesaat aku hanya sanggup memberi salam pada panggung itu. Mataku menyalami setiap jengkal panggung itu, pada tirai depan yang menggantung terikat dan dulu tak bisa menutup panggung itu dengan layak karena dipaksa menyaksikan kematian, dan tirai gelap di belakangnya yang pernah menjadi perisai saat Gian memberiku peluk dan kecup bahagia setelah penampilan kecilku jauh sebelum malam itu.
Aku bisa merasakannya. Suara kecil panggung itu terisak meminta langkahku memeluknya. Angin terasa membantu menyeret kakiku yang terasa berat.
Selangkah, dua langkah, aku mencoba menurut dan angin berhasil membawaku ke tengah panggung. Mungkin lebih baik tidak ada lampu yang menghidupkan panggung ini saat ini, karena sekarang rasanya aku mulai mendengar makian dari segala penjuru.
Aku tau mimpiku sedang berdiri di tengah sana. Mungkin menangis, mungkin marah, mungkin menunggu, mungkin juga memaki. Kupikir mimpi itu sudah lama mati, karena sejak malam itu, setelah aku membunuh perempuan itu, aku membunuh mimpiku. Tidak ada lagi lirik-lirik baru yang lahir dalam kepala, pun lirik-lirik lama yang terbangun dari tidur. Semua sudah kularang tinggal di kepala dan menjadi gelandangan saja di manapun mereka mau.
Dan setelah aku memberanikan mataku menatap ruang kosong di depan panggung ini, tepat di titik yang merenggut nyawa perempuan itu, semua berkumpul ramai di sana. Mimpiku, lirik-lirik lama, hasrat lama, kemarahan, makian, kerinduan, semua berdesakan menagih tatapanku. Aku jatuh berlutut di hadapan mereka. Seharusnya sudah sejak lama aku berlutut memohon ampun, seharusnya sejak malam itu aku menghabiskan malam dengan menebus dosaku yang telah menumpuk.
Aku yang memiliki mimpi. Aku yang bersikeras membawa mimpiku setinggi mungkin. Aku yang membiarkan mimpiku membunuh Gian.
Jika mimpi itu tak ada, aku mungkin tidak perlu berkenalan dengan panggung ini, dan Gian mungkin sekarang sedang berceloteh ria tentang mimpi menjadi lumba-lumba, tentang kerajaan di bawah laut, tentang istana pasir, dan tentang semua yang kuyakini lebih menyenangkan dari mimpi brengsekku ini.
Tanganku terkepal menghantam panggung. Aku mengingkari janji. Mungkin akan selesai jika aku bertarung dengan panggung ini. Mungkin panggung ini punya keinginan untuk membunuhku sebagai penuntasan dendam.
Sebelum pertarungan itu terjadi, Alijah sudah menghentikan tanganku, menenangkannya dalam genggamannya. Kepalaku tertunduk dalam pelukannya, dan aku terisak bodoh, merasakan tangannya yang bergerak lembut mengasihani punggungku. Mungkin panggung ini juga merasa tidak adil karena setelah pembunuhan itu, masih ada perempuan ini yang datang menawarkan kesembuhan. Aku pun tidak tau diri dan pasrah menerima.
"dosa-dosaku ada di sini, Al."
Tangannya terus mencoba menenangkan rasa bersalahku.
"aku memperjuangkan mimpiku dan membunuh perempuan itu dengan mimpiku."
"mimpi gak pernah membunuh, Ji."
Aku menarik diri dari pelukannya dan bangkit. Kupaksakan langkahku menuruni panggung dan berdiri di titik di mana malam itu aku memeluk tubuh tak bernyawa Gian.
"di sini. Di sini Gian kehilangan nyawa di tengah orang-orang yang bersorak-sorai menyambut mimpiku, Al. Aku membiarkan orang-orang menyambut mimpiku dengan ganas dan membuat perempuan yang membantuku membangun mimpi itu harus memeluk kematian karena gak sanggup melawan orang-orang itu. Tubuhnya kecil, terlalu kecil untuk jadi perisai bagi diriya sendiri, bahkan suaranya terlalu tipis untuk meneriakkan kata tolong supaya aku dengar. Sedangkan aku cuma nyanyi di atas sana seperti orang bodoh, Al! Dia kehilangan nyawa dan aku menyanyikan lagu ceria itu tanpa rasa bersalah. Apa yang lebih brengsek dari ini, Al?!"
Alijah masih berdiri di atas panggung, menatapku dengan pandangan nelangsa.
"bukan mimpi kamu yang bunuh dia, Ji. Kamu bunuh mimpi kamu dengan berhenti hadir di panggung, itu yang membunuh dia."
"kamu mau aku nyanyi sekalian di sini?" aku berjalan marah ke arahnya, kembali menaiki panggung. Tanganku menarik mic yang dalam kondisi mati dari penyangganya.
"kamu gak takut mimpiku membunuh untuk yang kedua kalinya? Membunuh kamu?"
Lirik-lirik lama itu dengan lantang keluar dari bibirku yang gemetar. Aku membiarkan diriku bernyanyi tanpa kendali. Alijah meninggalkan panggung, lalu berdiri di tempat tadi aku berdiri. Dia bersorak-sorai dan terus bertepuk tangan. Matanya membasahi ruang itu dengan sama pilunya. Aku terus bernyanyi dalam marah yang berusaha kupertahankan. Semakin lama lagu itu bermain melalui suaraku, marah itu berkhianat dan meminta pamit dari kepalaku. Aku ingin marah itu menelanjangi lukaku sampai mampus, tapi yang terjadi bukan seperti yang kuinginkan. Setelah lagu itu berakhir, dan marah selesai menelanjangi lukaku, bukan dingin menusuk yang kurasakan pada luka itu.
Nyatanya di depan sana, Alijah memberi tatapan yang membungkus hangat luka itu. Sakit yang kuharap meronta memampuskan, menarik selimut untuk tertidur kembali dengan tenang.
"lihat kan, Ji? Aku masih berdiri hidup di sini menyaksikan mimpi kamu." Suaranya lantang berbicara. Matanya lekat memelukku dari balik kaca-kaca berembun yang membungkus matanya. "bukan mimpi kamu yang membunuh perempuan itu, Ji. Saat itu dia juga sama berdiri di sini merasakan bangga yang sama, dan kebetulan kematian memang sejak awal udah menjaga dia."
Aku tertunduk, merasakan angin menampar pelan wajahku.
"kematian memeluk dia di saat bahagianya, Ji. Dia sedang bahagia karena menyaksikan kamu berhasil membawa mimpi kamu ke sini, lalu kematian datang mengingatkan. Dia pergi bersama kematian dengan bahagia."
Tanganku menggenggam kuat mic itu. Pandanganku terus bertanya padanya.
"kenapa harus hari itu, Al? Dari semua hari kenapa harus hari itu?"
Aku bertanya tanpa tau aku sanggup mendengar jawabannya atau tidak.
"karena hari itu kamu bersinar. Mungkin jauh lebih bersinar dari yang aku liat sekian menit lalu. Aku gak ada di sini pada saat itu, tapi kalau aku jadi dia, aku mungkin juga rela kalau harus pergi di hari itu. Lorong menuju kematian itu menakutkan, Ji. Tapi ada cahaya kamu yang menerangi jalan dia menuju kematian itu. Gak semua orang bisa melewati lorong kematian diterangi cahaya orang yang dia cintai, Ji."
"apa hebatnya, Al? Siapa yang udah melewati kematian gelap-gelapan lalu menyesal?"
Perempuan itu tersenyum. Segaris senyum pahit itu dilahirkan oleh matanya yang semakin memperlihatkan awan-awan hitam.
"ibuku, sampai saat dia harus berjalan melewari lorong itu, dia sendirian. Gak ada cahaya apapun yang nerangin jalan dia, meski aku tau dia pemberani. Aku yakin dia gak menyesali itu, tapi aku iya, Ji. Aku menyesal."
Alijah berjalan pelan kembali ke panggung. Cahaya panggung yang sejak tadi memihakku, seperti telah lama menunggunya. Cahaya putih yang tak kutemukan melalui pesta kerlap-kerlip di jalanan, atau di halte manapun yang kulewati, menginginkan perempuan itu sepenuhnya menjemput amarah yang selama bertahun-tahun ini menjadi penghuni tetap dalam kepalaku. Aku tidak tau sudah berapa banyak lagu pengantar tidur yang perempuan itu senandungkan untuk lukanya sendiri. Rasanya aku berhadapan dengan perempuan yang telah ahli dalam urusan menidurkan luka dari mimpi buruk. Dia menatapku lembut dan tatapannya menidurkan lukaku dari mimpi buruk itu.
"kamu gak pernah membunuh dia, Ji. Pun mimpi kamu. Jadi jangan pamit. Gak semua orang punya rumah untuk pulang. Gak semua orang beruntung melewati lorong kematian dalam cahaya seperti yang kamu berikan untuk dia, Ji."
Marah yang terbalut kain merah itu selesai berpamitan padaku. Marah itu sekarang menyelinap ke balik punggung perempuan itu, membentang sebagai sayap putih, membasuh punggung perempuan itu agar pulih dari reruntuhan langit sebelum terlanjur menghantam bahunya, dan sebelum menghamburkan kaca-kaca yang membungkus mata perempuan itu.
Entah aku atau dia yang terlebih dulu menjatuhkan diri dalam pelukan itu. Yang pasti, yang kulihat di bawah cahaya yang sekarang memihak kami berdua, lukaku dan lukanya saling bersalaman baik dan beranjak dari tubuh kami masing-masing untuk kemudian menempati barisan depan panggung. Lukaku dan lukanya saling menari merayakan kami yang akhirnya pelan-pelan melepas diri dari segala sakit.
KAMU SEDANG MEMBACA
MARI TELANJANGI SEMUA LUKA
RomanceKita sama-sama lelah membungkus mata dengan langit senja dari negeri khayalan. Bibir kita sama-sama muak mencecap permen kapas yang telah basi. Aku, kamu. Mari kita telanjangi sakitnya. Sampai hati dan tubuh kita mampus.