"Kudengar kau banyak menyembuhkan orang hari ini."
Tak, Viten meletakkan cangkir teh di atas tatakan dengan bunyi nyaring.
Sinar rembulan memasuki kisi-kisi jendela ruang kerja Viten. Di mana kini, terdapat satu sudut spesial untuk kami yang selalu berkumpul berdua untuk minum teh. Bisa dikatakan bahwa setelah lamaran konyol itu, Viten kerap kali mencoba untuk menyisihkan waktunya untukku.
Aku melirik tiga buah lilin di atas meja yang berpendar, lantas menjawab, "Itu benar, Yang Mulia. Namun, meski sudah melakukan konsultasi seharian, aku bahkan belum menyembuhkan setengah dari yang datang ke kuil. Terpaksa, beberapa bagian dari yang datang bahkan harus bermalam lagi di halaman kuil."
Viten mendengus. "Biarkan saja. Mereka terlalu rakus."
"Kamu kejam sekali pada rakyatmu, Yang Mulia. Bukankah hal yang masuk akal apabila mereka menginginkan kehidupan tanpa penyakit? Setidaknya, Anda memberikan beberapa akomodasi untuk mereka yang bermalam di kuil."
"Aku bukan kau yang menghabiskan dana bagi Tuan Putri untuk mengakomodasi mereka. Aku tidak mau mengikutimu yang membuatkan mereka tenda untuk tidur atau memberi makanan dan minuman secara gratis."
Aku terkekeh kaku. Kini, sebagai Tuan Putri, aku kehabisan dana untuk kugunakan pada hal-hal mewah selayaknya nona bangsawan lainnya. Yah, bukannya aku benar-benar peduli ketika di hadapanku saat ini merupakan sebuah atau seorang dompet berjalan.
Jika menilai situasinya, apabila aku meminta segunung emas, Viten pasti akan langsung menghadiahkannya padaku dengan senang hati.
"Apakah kamu tidak senang karena itu uangmu?" tanyaku sambil memamerkan senyuman polos dan lembut.
Viten mengerutkan dahi. "Tidak. Itu uangmu ketika aku sudah memberikannya padamu."
"Maka, tidak ada yang salah dengan membantu para rakyat." Aku meraih cangkir teh di atas meja. "Aku juga tentu tidak bisa membiarkan semua orang mati karena kedinginan dan kelaparan saat menanti giliran mereka tiba. Sudah sepantasnya bagiku untuk memberikan mereka kenyamanan, bukan?"
"Kau licik sekali." Viten menuangkan teh ke cangkirku yang kosong. "Kau itu menyuap mereka. Kau tahu itu?"
"Aku tahu, Yang Mulia. Namun, itu sudah hukum alam ini. Mereka yang lemah akan tunduk pada siapa pun yang mengulurkan tangannya pada mereka."
Viten melirikku dengan sorot aneh di matanya. "Aku bahkan mendapat beberapa laporan dari bangsawan dan ucapan terima kasih mereka karena kau sudah menyembuhkan penyakit yang diderita oleh mereka. Katanya, kau berhasil membuat mereka mempertahankan keturunan mereka yang sekarat dan bisa meneruskan marga keluarga mereka dengan bangga. Lalu, banyak juga nona-nona muda yang ingin menjadi teman sosialitamu. Atau nyonya bangsawan yang sangat tertarik padamu. Atau bagaimana mereka mau menandatangani perjanjian politik denganku asalkan anak mereka diselamatkan dari penyakit mematikannya. Ada juga yang menyerahkan tambang permata mereka secara sukarela untukmu. Faksi yang awalnya menentangku pun menjadi luluh dan bekerja sama denganku."
Viten menutup matanya dan mengembuskan napasnya secara perlahan. Kala dia membuka matanya dan menampilkan manik merah yang berpendar dalam kilauan luna, itu merekah. Sudut bibirnya naik, membuat panorama di hadapanku makin terlihat begitu menawan dan bisa-bisa membuatku tertawan.
"Bagaimana bisa kamu membalikkan kerajaanku seperti ini, Serethy? Tidak pernah dalam bayanganku, kau akan menjadi sosok yang memutar balik takdir."
Memutar balik takdir? Pria ini bicara apa?
Namun, aku hanya mengulas senyuman kecil. "Bukankah aku sangat menakjubkan, Yang Mulia?"
Viten mengangguk dengan cepat. Di matanya yang merekah, tercipta bunga-bunga musim semi yang bermekaran. Memukau, dia terpukau.
KAMU SEDANG MEMBACA
END | I Will Avoid the Death Flag [Terbit]
Historical FictionAku menjadi tawanan perang ketika membuka mata. Takdir sialan apa yang membawaku masuk ke dalam novel gila yang kulemparkan keluar jendela setelah aku membacanya?! Mau bagaimanapun, aku tidak akan membiarkan diriku sendiri disiksa oleh dua orang gi...