Akhirnya aku menemukan pria itu setelah berdalih akan mencari udara segar karena suasana pesta begitu mencekik pada Viten.
Di balkon yang jauh dari suasana pesta, orang yang pernah mengambil banyak peran di dalam novel asli untuk menganiaya Serethy, sedang duduk di sofa yang nyaman di balkon yang luas. Panorama malam adalah satu-satunya yang ditilik oleh manik emas di pemuda berambut perak. Sesekali, jemarinya menggoyangkan gelas wine dan menyesap isinya perlahan, berusaha menikmati momen yang ada.
Di atas meja, tiga buah botol wine berjajar. Dua di antaranya sudah habis diteguk, sementara satu botol lainnya hanya tersisa setengah.
Ketika manik Axel yang dibayangi sinar rembulan di angkasa sana berpendar keemasan kala bersitatap dengan violet milikku, aku melihat keterkejutan di dalamnya. Buru-buru Axel meletakkan gelas wine dan menegakkan tubuhnya.
Axel berdiri di depanku, kemudian melakukan salam.
"Salam kepada bulan Asher, semoga kebahagiaan terus menyertai Anda," sapanya, membuat dahiku mengerut mengenai betapa kakunya dia.
Hei, ke mana si pembuat onar yang ekspresif?
"Tuan Muda Axel," panggilku, membuat Axel kembali menegakkan tubuhnya. "Mengapa sang bintang pesta menghilang dari pestanya sendiri?"
Axel tampak gelagapan. Pipinya yang memerah karena pengaruh alkohol membuatnya terlihat makin jelas bahwa dia memiliki masalah yang terkunci dalam benak, bingung hendak melampiaskannya ke mana. Meski wajahnya memerah, aku bisa tahu bahwa Axel sama sekali tidak mabuk. Bisa dilihat dari sorot matanya yang jernih.
"Sa-Saya—"
"Tuan Muda Axel," potongku dengan nada tegas. "Apakah ada sesuatu yang mengganggumu?"
Axel menggelengkan kepalanya. "Tidak ada apa-apa, Tuan Putri. Anda tidak perlu risau."
Aku menghela napas. "Sesuatu mengganggumu."
Diam-diam aku masih bisa mendengar suara orkestra yang dimainkan walau jarak balkon dari aula pesta cukup jauh.
"Saya tidak apa-apa, Tuan Putri. Tidak perlu dipikirkan."
Aku mengembuskan napasku dengan berat. Dia jelas-jelas menyembunyikan sesuatu. Namun, mengapa dia tidak mengatakan masalahnya saja padaku? Bukankah kita bisa dikatakan cukup dekat sekarang? Melihatnya seperti ini cukup membuatku frustrasi.
"Tuan Muda, bagaimana jika kita berdansa?" ajakku.
"Y-Ya?" Axel membulatkan matanya yang emas. "S-Saya tidak mungkin menerimanya, Tuan Putri. Saya tidak bisa lancang—"
"Tidak apa-apa," potongku. "Tidak ada siapa-siapa di sini yang akan menilai kita berdua semau mereka."
Alasan mengapa Viten menolak hadiah kedua Axel adalah karena ratusan pasang mata di lantai pesta akan menilai seolah mereka paling benar. Akan tetapi, hanya ada kami berdua di sini yang membuat kami tidak perlu khawatir dengan pandangan menusuk orang lain.
Aku bisa melihat manik Axel bergetar samar, tetapi dia menundukkan tubuhnya sembari mengulurkan tangannya padaku.
Aku menerima uluran tangannya dan kami langsung mengikuti irama orkestra samar yang terdengar. Menjejaki satu-persatu petak dansa di lantai balkon, menari dengan bebas selayaknya kepakan sang burung, saling merengkuh, saling membagi kehangatan, saling menatap, menabrakkan violet serta emas di titik dan masa yang sama.
Dalam jarak yang begitu dekat, aku bisa melihat sorot emas yang dipenuhi oleh misteri. Aku sangat ingin tahu apa saja yang ada di balik misteri itu. Sangat-sangat ingin tahu apa saja yang disembunyikannya sampai aku merasa frustrasi.
KAMU SEDANG MEMBACA
END | I Will Avoid the Death Flag [Terbit]
Historical FictionAku menjadi tawanan perang ketika membuka mata. Takdir sialan apa yang membawaku masuk ke dalam novel gila yang kulemparkan keluar jendela setelah aku membacanya?! Mau bagaimanapun, aku tidak akan membiarkan diriku sendiri disiksa oleh dua orang gi...