43 - Insomnia

2K 357 68
                                    

Sesi konsultasi dan penyembuhan dengan kekuatan suci selalu berakhir pukul lima sore. Itu final setelah Viten memerintahkanku untuk tidak terlalu banyak menggunakan kekuatan suci. Katakan saja dia paranoid, katanya dia takut aku akan sekarat kalau terlalu banyak menggunakan kekuatan suci.

Mana mungkin aku sekarat karena menyembuhkan orang, kan? Dia berlebihan sekali.

Untuk masalah Cioten, aku sudah mempelajari beberapa jurnal yang diberikan oleh Arcelio. Namun, tentu saja membutuhkan banyak proses untuk mempelajari puluhan jurnal sebagai referensi penyembuhan kutukan. Sehingga apa yang kulakukan setiap hari adalah melalui sorot penuh kedinginan, misteri, dan perasaan takut untuk menenangkan kutukan yang membludak di tubuhnya.

Kemudian masalah Etrill dan Kallistar, aku sudah menyerahkan surat permintaan pada Viten untuk meringankan hukuman mereka sehingga keduanya kini sudah keluar dari penjara bawah tanah setelah menerima masing-masing seratus kali cambukan. Dan syukurlah sekarang keduanya sedang memulihkan diri dari hukuman cambuk. Artinya, aku tidak usah berurusan dengan mereka saat ini. Aku juga masih kesal karena mereka benar-benar tiba di waktu yang tidak tepat.

Kemudian, aku juga sudah lama tidak melihat Axel. Anak itu seolah menghilangkan jejaknya setelah aku menghukum Clare dengan mengirimnya ke alam baka. Namun, satu surat dari Krone mampu menenangkan kekhawatiranku. Itu adalah undangan pesta ulang tahun Tuan Muda Krone di usianya yang kedua puluh.

Aku jadi ingat bagaimana pertama kali kami bertemu dan mendengarkan rumor mengenai Axel. Saat itu usianya sembilan belas, sama seperti Serethy, tetapi dia malah mendahuluiku dan akan berusia dua puluh dalam beberapa hari lagi.

Kini, tuan muda pembuat onar bahkan memiliki pengaruhnya sendiri sebagai Marquis masa depan karena tidak lagi berbuat onar. Aku bangga padanya.

Aku baru mau membalas surat Axel ketika kamarku dibuka secara paksa pada pukul delapan malam. Aku mencoba maklum atas perbuatan bajingan tidak tahu malu itu.

"Ada apa, Yang Mulia? Mengapa kamu datang secara tiba-"

Aku tidak bisa menyelesaikan kalimatku karena Viten langsung menyerbuku dan memelukku dengan erat.

Aku hampir kesulitan bernapas jika Viten tidak mengendurkan pelukannya.

Namun, bukan itu masalahnya. Masalahnya adalah Viten memelukku dengan tubuh bergetar, merupakan pengalaman baru bagiku yang terus melihat Viten dalam kondisi yang teguh.

Viten selalu kelihatan tangguh dan psikopat di mataku, tetapi rupanya baik adik dan kakak sama-sama menyimpan sisi rapuh di sudut hati terdalam. Enggan menguliknya, seolah memamerkan sepotong luka merupakan sebuah tabu.

Aku mengelus punggungnya secara perlahan. Pada akhirnya, aku membiarkan Viten menangis di bahuku dengan tubuhnya yang bergetar hebat.

"Tidak apa-apa, Yang Mulia."

Aku tidak menyuruh pria besar ini berhenti menangis karena menangis adalah hal yang manusiawi. Menangis adalah salah satu cara untuk memanusiakan manusia, satu-satunya cara mengekspresikan luka mendera yang tak tahu pelipur laranya, satu-satunya cara untuk lari dari lingkaran derita tanpa sudut. Itu hal yang normal. Tidak masalah apabila yang menangis merupakan dewasa atau balita, keduanya sama-sama seorang manusia, rapuh, perlu pelukan.

"Takut."

Kini, dia merengek padaku selayaknya seorang bayi.

Aku mengukir senyum. Ketika dia seperti ini, Viten tidak seperti seorang psikopat yang menyiksa Serethy di dalam novel, melainkan pria rapuh yang memerlukan pelukan untuk menenangkannya.

"Tidak apa-apa, Yang Mulia. Aku ada di sini, tidak perlu takut lagi."

Viten akhirnya menarik diri dariku. Dan betapa kacaunya wajah tampan itu saat ini. Viten memiliki kantung mata tebal yang hitam, seolah dia tidak pernah bisa terlelap. Kemudian air mata menetes melewati pipi dan rahang yang tegas. Lalu, rambut hitamnya kini mencuat ke mana-mana. Wah, mau dilihat dari sisi mana pun, Viten super kacau.

END | I Will Avoid the Death Flag [Terbit]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang